Kamis, 09 Desember 2010

Danny Tonu: Posting Perdana

Mencari Pemuda dalam Krisis

OPINI



Mencari Pemuda dalam Krisis




Sejarah Indonesia adalah sejarah pemuda. Tesis Anderson perihal revolusi pemuda zaman kemerdekaan tidak pernah mati. Ben Anderson lebih percaya bahwa pemudalah motor penggerak revolusi Indonesia, bukan para elite (Pemuda Revolution, 1967). Cerita ini menjadi legenda sekaligus basis praksis peran politik pemuda.

Generasi 66, 74, dan 98 merevitalisasi narasi tersebut menjadi sebuah
mitos perlawanan yang tak pernah padam. Pemuda adalah simbol kekuatan
pergantian rezim yang korup. Namun, agaknya narasi tersebut kini mesti
dirumuskan kembali.

Kini kita kembali mengalami krisis. Krisis global yang tidak mengenal
batas. Pemerintahan yang dikelola dengan baik pun tak lepas dari dampak krisis.
Di mana pemuda berada? Tepatkah jika dikatakan di masa lalu pemuda menunggangi
krisis untuk aksi politik? Bagaimana jika krisis tersebut sangat mendalam
sehingga justru membuat pemerintah membutuhkan dukungan luas masyarakat, tidak
terkecuali para pemuda. Di mana spirit revolusi itu terpendam?

Runtuhnya Sebuah Mitos

Setidaknya ada dua momentum yang membuat mitos tersebut terkoreksi dengan
sendirinya: Aspek struktural dan sosok pemuda. Pertama, mitos peran pemuda
dalam perubahan sebenarnya mirip dengan gerakan sosial lain. Gerakan sosial
terjebak logika perlawanan terhadap negara, alih-alih penguatan masyarakat.
Pada akhirnya para pemuda mengembangkan retorika perlawanan yang melawan
kecenderungan negara yang proteksionis, nasionalis, dan kecenderungan
stabilisasi.

Pola hubungan masyarakat sipil yang terepresentasi melalui pemuda yang
muncul dalam gerakan-gerakan sosial dan mahasiswa terhadap negara masih berada
dalam pola yang melihat negara dalam konteks gagasan kapitalisme negara.
Padahal pada pengujung 90-an dan hingga kini gagasan yang dominan adalah
neoliberalisme.

Artinya, dalam beberapa hal, kekuatan-kekuatan neoliberal justru
mempergunakan pemuda dalam gerakan sosial sebagai garda terdepan untuk melawan
negara. Neoliberal justru mengambil keuntungan ditengah konflik antara
masyarakat sipil dan negara.

Karena desakan yang kuat, lama-kelamaan negara justru mereduksi peran
diri sendiri dan selanjutnya melibatkan diri dalam sistem global yang percaya
pada kekuatan pasar. Ada indikasi bahwa keberhasilan reformasi kebijakan negara
menjadi kebijakan neoliberal kini, disadari atau tidak, adalah atas dukungan
dan desakan advokasi dari sebagian kalangan pemuda dan gerakan sosial.

Banyak kebijakan negara kini yang mengadopsi kebijakan neoliberal,
misalnya, pemotongan subsidi negara dan pembebasan tarif produk pertanian,
privatisasi perusahaan negara, perguruan tinggi, serta pelayanan kesehatan dan
pendidikan. Artinya, tanpa disadari, pemuda dalam gerakan sosial justru menjadi
"panitia" atas berlakunya kebijakan yang menyingkirkan dan memarginalkan kaum
miskin.

Alhasil, yang terjadi bukan penguatan masyarakat, melainkan justru tanpa
terduga gerakan pemuda malah terjebak dan ditunggangi kekuatan-kekuatan
neoliberal, yang memiliki musuh yang sama dengan para pemuda, yaitu negara yang
proteksionis. Kebangkrutan neoliberal kini mestinya menjadi entry point bagi
koreksi mendalam gerakan pemuda.

Kedua, terlibatnya para pemuda secara mendalam dalam politik praktis.
Gejala ini bukanlah hal baru. Generasi 66 merupakan eksponen utama Orde Baru.
Angkatan 98 kembali mengulangnya, bahkan dalam bentuknya yang amat sukar
dipahami akal sehat. Kasus Pius Lustrilanang, misalnya, bagaimana mungkin
korban berdamai, bahkan jatuh cinta dengan penculiknya? Atau Budiman Sudjatmiko
yang bergabung dengan PDI-P dan Dita Indah Sari yang turut membawa gerbongnya
di Pepernas ke PBR.

Apakah ini keliru? Tidak. Semata menunjukkan pola tetap bahwa gerakan
pemuda sangatlah politis. Argumen bahwa ini semata meluaskan medan perjuangan
dan melalui partai politiklah perubahan bisa dilakukan, dapat diterima. Banyak
orang memiliki pengaruh (influence), tapi sedikit orang yang memiliki kekuasaan
(power). Bergabung dengan partai membuat seseorang memiliki kekuasaan.

Kecenderungan kekuasaan inilah yang membuat ide pemimpin muda mengemuka.
Sukar untuk mengelak bahwa ide pemimpin muda sebenarnya lebih tepat dikatakan
sebagai pemimpin instan. Mereka yang mengajukan diri sebagai pemimpin muda
mengabaikan sejarah pemikiran kolektif publik, dari mana mereka berasal? Yang
terjadi pemimpin instan adalah sosok-sosok yang gemar mengiklankan diri di
media massa. Berharap publik mengenalnya, untuk kemudian memilihnya. Lalu, apa
bedanya dengan pemimpin selebriti?

Epilog

Kedua momentum di atas dapat dijadikan pijakan untuk memformulasi kembali
model gerakan yang mengarah pada rekonstruksi kebangsaan. Catatan yang bisa
diberikan pada momentum pertama adalah dibutuhkan pergeseran dari peran
"perlawanan" terhadap negara menuju peran "penyelamatan" bangsa. Perihal
momentum yang kedua, kita bisa becermin bahwa jika lahirnya pemimpin muda
sebagai keniscayaan, maka spirit tersebut bisa kita reguk dari para founding
fathers yang maju ke arena politik dengan kekuatan intelektual.

Jika meluaskan medan perjuangan untuk perubahan, mengapa tidak memilih menjadi intelektual yang bertujuan menginspirasi banyak orang? Siapa yang meragukan kekuatan gagasan? Di tengah krisis, publik membutuhkan inspirasi.
Bukan semata membangun image di layar kaca, sekaligus membodohi publik. Ayo,siapa berminat jadi intelektual?

Tidak ada komentar: