Kamis, 09 Desember 2010

Gerakan pemuda

Gerakan Pemuda, yang Elitis dan Dilupakan

Setiap akhir Oktober, kita selalu mengenang sebuah momentum yang terjadi pada 1928silam. Pada 28 Oktober, 82 tahun lampau, di Gedung Oost Java Bioscoop Jakarta, ketika hari mulai gaduh oleh tuntutan pribumi yang memimpikan kebebasan dan kesetaraan, sebuah ikrar dikumandangkan. Di momen yang yang bertajuk Kerapatan Pemoeda Pemoedi Indonesia atau Kongres Pemuda II itu, para kaum muda terdidik dari berbagai suku mengikat janji tentang satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa: Indonesia. Lantas “Indonesia Raya” untuk pertama kalinya ‘dilaunching’ oleh W.R. Soepratman.
Kita bersepakat, peristiwa yang kemudian kita kenang sebagai Hari Sumpah Pemuda itu merupakan fase yang monumental dalam pembentukan entitas kebangsaan kita. Dalam catatan para sejarawan – Onghokam misalnya – peristiwa itu juga menjadi inspirasi kaum muda untuk mengambil peran yang signifikan dalam setiap momentum yang menentukan masa depan negerinya. Namun pertanyaan yang sering tak terungkap dalam narasi sejarah, siapa sih yang disebut pemuda yang berperan dalam sejarah bangsa itu? Dan kemudian benarkah selepas momen-momen nan penting itu peran pemuda terakomodir dalam proses politik?
Dari 1908 yang menjadi tonggak pergerakan modern di bumi kita, hingga 1998 saat gerakan mahasiswa ‘menaklukkan’ kekuasaan Orde Baru, kaum muda yang terlibat dalam proses pergerakan sejatinya adalah — meminjam istilah Arnold Toynbe — creative minority. Yakni sekelompok kecil orang yang memiliki daya intelektualitas di atas rata-rata kaumnya. Modus ini kemudian acap dikritik sebagai gerakan yang bercorak elitis. Namun di tengah kekuasaan yang represif dan hegemonik, memang selalu sulit untuk mentransformasikan gerakan elitis menjadi gerakan rakyat yang sebenarnya.
Dalam momentum 1908 dan 1928, peran ini dilakukan oleh para anak muda dari kasta priyayi dan ningrat yang memiliki kesempatan menghirup pendidikan Belanda. Kepemimpinan mereka yang sangat sentris dalam masyarakat, bukan saja karena tingkat pendidikan yang mereka miliki. Namun juga karena eksistensi lapisan sosial mereka yang sangat berpengaruh dalam struktur sosial di kala itu.
Kemudian pada 1945, sekalipun kepemimpinan gerakan masih elitis, namun rakyat secara massif terlibat dalam pergerakan pada masa itu. Terutama ini dipicu oleh konfrontasi fisik dengan Belanda pasca proklamasi. Benedict Anderson menuliskan peristiwa itu sebagai revolusi pemuda. Meskipun aktor-aktor utama momentum sejarah ini adalah para tokoh pergerakan yang telah menua — seperti Soekarno dan Hatta, namun jejak para tokoh muda juga cukup tegas di sana. Dalam peristiwa sekitar proklamasi misalnya, sulit untuk ditepis inisiasi Sayuti Melik dkk lah yang mendorong Soekarno-Hatta memaklumkan kemerdekaan di hari itu.
Setelah itu pada angkatan 1966 (yang berekstase pada kejatuhan Soekarno) dan 1998, kepemimpinan oleh anak-anak priyayi-ningrat memang telah aus dimakan zaman. Mobilitas vertikal dalam struktur sosial juga semakin terbuka. Namun demikian gerakan pemuda tetap gagal untuk mentranformasikan diri sebagai gerakan rakyat (popular movement). Pasalnya, pada fase itu aktivitas gerakan masih berputar-putar di sekitar kampus. Upaya pelibatan rakyat telah dilakukan melalui pengorganisasian masyarakat kasus. Namun hingga aksi mahasiswa menggemuruh sepanjang 1998, wajah mahasiswa masih terlampau dominan dibanding rakyat yang menjadi dalih dalam orasi jalanan mereka.
Tanpa ikhtiar menjelmakan diri dalam wujud gerakan rakyat, gerakan pemuda hanya menjadi lakon sesaat yang segera dipinggirkan setelah terjadi konsolidasi untuk membentuk kemapanan. Cita-cita pergerakan pemuda pun dengan mudah dimoderasi oleh kekuasaan yang betahta kemudian. Dalam “Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik”, Onghokam menuliskan, kecenderungan itu telah terjadi semenjak lahirnya Budi Utomo. Setahun setelah Budi Utomo dideklarasikan pada 1908, gerakan itu langsung didominasi oleh para bupati dan paraambtenaar berdarah pribumi. Kebangkitan yang dicita-citakan para dokter muda itu dengan segera terinvolusi dalam aras kepentingan kekuasaan pemerintah kolonial.
Memang setelah Orde Baru berkuasa, sejumlah eks pemimpin mahasiswa mendapatkan kompensasi atas peran mereka menjatuhkan Soekarno. Namun rekrutmen politik ini lebih berlatarkan kepentingan menjinakkan gerakan mahasiswa. Toh, enam tahun setelah Orde Baru dikukuhkan, protes mahasiswa kembali pecah pada 15 Januari 1974. Gerakan yang berlatar kekecewaan terhadap dominasi modal asing tersebut, kemudian kita kenal dengan peristiwa Malari. Bahkan pada 1978, mahasiswa dipaksa ‘masuk kampus’ dan dijauhkan dari arena politik.
Kemudian pasca kekuasaan Soeharto tumbang, untuk kesekian kalinya peristiwa itu terulang. Setelah kegaduhan reformasi mereda, aksi mahasiswa meghilang dari panggung politik. Segelintir aktivis memang berhasil menembus lingkaran elit, namun ‘keberhasilan’ mereka bukan hasil dari konsolidasi gerakan yang memadai, lebih merupakan hasil inisiasi individu dan klik-klik yang berserak. Lantas partai-partai bergegas tampil ke depan. Setelah itu korupsi kembali menggejala, penistaan hak rakyat kembali terulang. Dan cita-cita perubahan yang 1998 lalu bergema, kini makin jauh dari jangkauan.(*)

Tidak ada komentar: