Kamis, 16 Desember 2010

Kalimat Motivasi

24 Kalimat Motivasi Terbaik

1. Jangan tertarik kepada seseorang karena parasnya, sebab keelokan paras dapat menyesatkan. Jangan pula tertarik kepada kekayaannya, karena kekayaan dapat musnah. Tertariklah kepada seseorang yang dapat membuatmu tersenyum, karena hanya senyum yang dapat membuat hari-hari yang gelap menjadi cerah. Semoga kamu menemukan orang seperti itu.

2. Ada saat-saat dalam hidup ketika kamu sangat merindukan seseorang, sehingga ingin hati menjemputnya dari alam mimpi dan memeluknya dalam alam nyata. Semoga kamu memimpikan orang seperti itu.

3. Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat-tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.

4. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang cukup untuk membuatmu baik hati, cobaan yang cukup untuk membuatmu kuat, kesedihan yang cukup untuk membuatmu manusiawi, pengharapan yang cukup untuk membuatmu bahagia dan uang yang cukup untuk membeli hadiah-hadiah.

5. Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi acapkali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.

6. Sahabat terbaik adalah dia yang dapat duduk berayun-ayun di beranda bersamamu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, dan kemudian kamu meninggalkannya dengan perasaan telah bercakap-cakap lama dengannya.

7. Sungguh benar bahwa kita tidak tahu apa yang kita milik sampai kita kehilangannya, tetapi sungguh benar pula bahwa kita tidak tahu apa yang belum pernah kita miliki sampai kita mendapatkannya.

8. Pandanglah segala sesuatu dari kacamata orang lain. Apabila hal itu menyakitkan hatimu, sangat mungkin hal itu menyakitkan hati orang itu pula.

9. Kata-kata yang diucapkan sembarangan dapat menyulut perselisihan. Kata-kata yang kejam dapat menghancurkan suatu kehidupan. Kata-kata yang diucapkan pada tempatnya dapat meredakan ketegangan. Kata-kata yang penuh cinta dapat menyembuhkan dan memberkahi.

10. Awal dari cinta adalah membiarkan orang yang kita cinta menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kita inginkan. Jika tidak, kita hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kita temukan di dalam dia.

11. Orang-orang yang paling berbahagia tidak selalu memiliki hal-hal terbaik, mereka hanya berusaha menjadikan yang terbaik dari setiap hal yang hadir dalam hidupnya.

12. Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dengan beberapa orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterima kasih atas karunia itu.

13. Hanya diperlukan waktu semenit untuk menaksir seseorang, sejam untuk menyukai seseorang dan sehari untuk mencintai seseorang tetapi diperlukan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang.

14. Kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, mereka yang disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencoba. Karena hanya mereka itulah yang menghargai pentingnya orang-orang yang pernah hadir dalam hidup mereka.

15. Cinta adalah jika kamu kehilangan rasa, gairah, romantika dan masih tetap peduli padanya.

16. Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu dan mendapati pada akhirnya bahwa tidak demikian adanya dan kamu harus melepaskannya.

17. Cinta dimulai dengan sebuah senyuman, bertumbuh dengan sebuah ciuman dan berakhir dengan tetesan air mata.

18. Cinta datang kepada mereka yang masih berharap sekalipun pernah dikecewakan, kepada mereka yang masih percaya sekalipun pernah dikhianati, kepada mereka yang masih mencintai sekalipun pernah disakiti hatinya.

19. Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi yang lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan tidak pernah memiliki keberanian untuk mengutarakan cintamu kepadanya.

20. Masa depan yang cerah selalu tergantung kepada masa lalu yang dilupakan, kamu tidak dapat hidup terus dengan baik jika kamu tidak melupakan kegagalan dan sakit hati di masa lalu.

21. Jangan pernah mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba, jangan pernah menyerah jika kamu masih merasa sanggup jangan pernah mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya.

22. Memberikan seluruh cintamu kepada seseorang bukanlah jaminan dia akan membalas cintamu! Jangan mengharapkan balasan cinta, tunggulah sampai cinta berkembang di hatinya, tetapi jika tidak, berbahagialah karena cinta tumbuh di hatimu.

23. Ada hal-hal yang sangat ingin kamu dengar tetapi tidak akan pernah kamu dengar dari orang yang kamu harapkan untuk mengatakannya. Namun demikian janganlah menulikan telinga untuk mendengar dari orang yang mengatakannya dengan sepenuh hati.

24. Waktu kamu lahir, kamu menangis dan orang-orang di sekelilingmu tersenyum - jalanilah hidupmu sehingga pada waktu kamu meninggal, kamu tersenyum dan orang-orang di sekelilingmu menangis

Kamis, 09 Desember 2010

Gerakan pemuda

Gerakan Pemuda, yang Elitis dan Dilupakan

Setiap akhir Oktober, kita selalu mengenang sebuah momentum yang terjadi pada 1928silam. Pada 28 Oktober, 82 tahun lampau, di Gedung Oost Java Bioscoop Jakarta, ketika hari mulai gaduh oleh tuntutan pribumi yang memimpikan kebebasan dan kesetaraan, sebuah ikrar dikumandangkan. Di momen yang yang bertajuk Kerapatan Pemoeda Pemoedi Indonesia atau Kongres Pemuda II itu, para kaum muda terdidik dari berbagai suku mengikat janji tentang satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa: Indonesia. Lantas “Indonesia Raya” untuk pertama kalinya ‘dilaunching’ oleh W.R. Soepratman.
Kita bersepakat, peristiwa yang kemudian kita kenang sebagai Hari Sumpah Pemuda itu merupakan fase yang monumental dalam pembentukan entitas kebangsaan kita. Dalam catatan para sejarawan – Onghokam misalnya – peristiwa itu juga menjadi inspirasi kaum muda untuk mengambil peran yang signifikan dalam setiap momentum yang menentukan masa depan negerinya. Namun pertanyaan yang sering tak terungkap dalam narasi sejarah, siapa sih yang disebut pemuda yang berperan dalam sejarah bangsa itu? Dan kemudian benarkah selepas momen-momen nan penting itu peran pemuda terakomodir dalam proses politik?
Dari 1908 yang menjadi tonggak pergerakan modern di bumi kita, hingga 1998 saat gerakan mahasiswa ‘menaklukkan’ kekuasaan Orde Baru, kaum muda yang terlibat dalam proses pergerakan sejatinya adalah — meminjam istilah Arnold Toynbe — creative minority. Yakni sekelompok kecil orang yang memiliki daya intelektualitas di atas rata-rata kaumnya. Modus ini kemudian acap dikritik sebagai gerakan yang bercorak elitis. Namun di tengah kekuasaan yang represif dan hegemonik, memang selalu sulit untuk mentransformasikan gerakan elitis menjadi gerakan rakyat yang sebenarnya.
Dalam momentum 1908 dan 1928, peran ini dilakukan oleh para anak muda dari kasta priyayi dan ningrat yang memiliki kesempatan menghirup pendidikan Belanda. Kepemimpinan mereka yang sangat sentris dalam masyarakat, bukan saja karena tingkat pendidikan yang mereka miliki. Namun juga karena eksistensi lapisan sosial mereka yang sangat berpengaruh dalam struktur sosial di kala itu.
Kemudian pada 1945, sekalipun kepemimpinan gerakan masih elitis, namun rakyat secara massif terlibat dalam pergerakan pada masa itu. Terutama ini dipicu oleh konfrontasi fisik dengan Belanda pasca proklamasi. Benedict Anderson menuliskan peristiwa itu sebagai revolusi pemuda. Meskipun aktor-aktor utama momentum sejarah ini adalah para tokoh pergerakan yang telah menua — seperti Soekarno dan Hatta, namun jejak para tokoh muda juga cukup tegas di sana. Dalam peristiwa sekitar proklamasi misalnya, sulit untuk ditepis inisiasi Sayuti Melik dkk lah yang mendorong Soekarno-Hatta memaklumkan kemerdekaan di hari itu.
Setelah itu pada angkatan 1966 (yang berekstase pada kejatuhan Soekarno) dan 1998, kepemimpinan oleh anak-anak priyayi-ningrat memang telah aus dimakan zaman. Mobilitas vertikal dalam struktur sosial juga semakin terbuka. Namun demikian gerakan pemuda tetap gagal untuk mentranformasikan diri sebagai gerakan rakyat (popular movement). Pasalnya, pada fase itu aktivitas gerakan masih berputar-putar di sekitar kampus. Upaya pelibatan rakyat telah dilakukan melalui pengorganisasian masyarakat kasus. Namun hingga aksi mahasiswa menggemuruh sepanjang 1998, wajah mahasiswa masih terlampau dominan dibanding rakyat yang menjadi dalih dalam orasi jalanan mereka.
Tanpa ikhtiar menjelmakan diri dalam wujud gerakan rakyat, gerakan pemuda hanya menjadi lakon sesaat yang segera dipinggirkan setelah terjadi konsolidasi untuk membentuk kemapanan. Cita-cita pergerakan pemuda pun dengan mudah dimoderasi oleh kekuasaan yang betahta kemudian. Dalam “Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik”, Onghokam menuliskan, kecenderungan itu telah terjadi semenjak lahirnya Budi Utomo. Setahun setelah Budi Utomo dideklarasikan pada 1908, gerakan itu langsung didominasi oleh para bupati dan paraambtenaar berdarah pribumi. Kebangkitan yang dicita-citakan para dokter muda itu dengan segera terinvolusi dalam aras kepentingan kekuasaan pemerintah kolonial.
Memang setelah Orde Baru berkuasa, sejumlah eks pemimpin mahasiswa mendapatkan kompensasi atas peran mereka menjatuhkan Soekarno. Namun rekrutmen politik ini lebih berlatarkan kepentingan menjinakkan gerakan mahasiswa. Toh, enam tahun setelah Orde Baru dikukuhkan, protes mahasiswa kembali pecah pada 15 Januari 1974. Gerakan yang berlatar kekecewaan terhadap dominasi modal asing tersebut, kemudian kita kenal dengan peristiwa Malari. Bahkan pada 1978, mahasiswa dipaksa ‘masuk kampus’ dan dijauhkan dari arena politik.
Kemudian pasca kekuasaan Soeharto tumbang, untuk kesekian kalinya peristiwa itu terulang. Setelah kegaduhan reformasi mereda, aksi mahasiswa meghilang dari panggung politik. Segelintir aktivis memang berhasil menembus lingkaran elit, namun ‘keberhasilan’ mereka bukan hasil dari konsolidasi gerakan yang memadai, lebih merupakan hasil inisiasi individu dan klik-klik yang berserak. Lantas partai-partai bergegas tampil ke depan. Setelah itu korupsi kembali menggejala, penistaan hak rakyat kembali terulang. Dan cita-cita perubahan yang 1998 lalu bergema, kini makin jauh dari jangkauan.(*)

Danny Tonu: Posting Perdana

Mencari Pemuda dalam Krisis

OPINI



Mencari Pemuda dalam Krisis




Sejarah Indonesia adalah sejarah pemuda. Tesis Anderson perihal revolusi pemuda zaman kemerdekaan tidak pernah mati. Ben Anderson lebih percaya bahwa pemudalah motor penggerak revolusi Indonesia, bukan para elite (Pemuda Revolution, 1967). Cerita ini menjadi legenda sekaligus basis praksis peran politik pemuda.

Generasi 66, 74, dan 98 merevitalisasi narasi tersebut menjadi sebuah
mitos perlawanan yang tak pernah padam. Pemuda adalah simbol kekuatan
pergantian rezim yang korup. Namun, agaknya narasi tersebut kini mesti
dirumuskan kembali.

Kini kita kembali mengalami krisis. Krisis global yang tidak mengenal
batas. Pemerintahan yang dikelola dengan baik pun tak lepas dari dampak krisis.
Di mana pemuda berada? Tepatkah jika dikatakan di masa lalu pemuda menunggangi
krisis untuk aksi politik? Bagaimana jika krisis tersebut sangat mendalam
sehingga justru membuat pemerintah membutuhkan dukungan luas masyarakat, tidak
terkecuali para pemuda. Di mana spirit revolusi itu terpendam?

Runtuhnya Sebuah Mitos

Setidaknya ada dua momentum yang membuat mitos tersebut terkoreksi dengan
sendirinya: Aspek struktural dan sosok pemuda. Pertama, mitos peran pemuda
dalam perubahan sebenarnya mirip dengan gerakan sosial lain. Gerakan sosial
terjebak logika perlawanan terhadap negara, alih-alih penguatan masyarakat.
Pada akhirnya para pemuda mengembangkan retorika perlawanan yang melawan
kecenderungan negara yang proteksionis, nasionalis, dan kecenderungan
stabilisasi.

Pola hubungan masyarakat sipil yang terepresentasi melalui pemuda yang
muncul dalam gerakan-gerakan sosial dan mahasiswa terhadap negara masih berada
dalam pola yang melihat negara dalam konteks gagasan kapitalisme negara.
Padahal pada pengujung 90-an dan hingga kini gagasan yang dominan adalah
neoliberalisme.

Artinya, dalam beberapa hal, kekuatan-kekuatan neoliberal justru
mempergunakan pemuda dalam gerakan sosial sebagai garda terdepan untuk melawan
negara. Neoliberal justru mengambil keuntungan ditengah konflik antara
masyarakat sipil dan negara.

Karena desakan yang kuat, lama-kelamaan negara justru mereduksi peran
diri sendiri dan selanjutnya melibatkan diri dalam sistem global yang percaya
pada kekuatan pasar. Ada indikasi bahwa keberhasilan reformasi kebijakan negara
menjadi kebijakan neoliberal kini, disadari atau tidak, adalah atas dukungan
dan desakan advokasi dari sebagian kalangan pemuda dan gerakan sosial.

Banyak kebijakan negara kini yang mengadopsi kebijakan neoliberal,
misalnya, pemotongan subsidi negara dan pembebasan tarif produk pertanian,
privatisasi perusahaan negara, perguruan tinggi, serta pelayanan kesehatan dan
pendidikan. Artinya, tanpa disadari, pemuda dalam gerakan sosial justru menjadi
"panitia" atas berlakunya kebijakan yang menyingkirkan dan memarginalkan kaum
miskin.

Alhasil, yang terjadi bukan penguatan masyarakat, melainkan justru tanpa
terduga gerakan pemuda malah terjebak dan ditunggangi kekuatan-kekuatan
neoliberal, yang memiliki musuh yang sama dengan para pemuda, yaitu negara yang
proteksionis. Kebangkrutan neoliberal kini mestinya menjadi entry point bagi
koreksi mendalam gerakan pemuda.

Kedua, terlibatnya para pemuda secara mendalam dalam politik praktis.
Gejala ini bukanlah hal baru. Generasi 66 merupakan eksponen utama Orde Baru.
Angkatan 98 kembali mengulangnya, bahkan dalam bentuknya yang amat sukar
dipahami akal sehat. Kasus Pius Lustrilanang, misalnya, bagaimana mungkin
korban berdamai, bahkan jatuh cinta dengan penculiknya? Atau Budiman Sudjatmiko
yang bergabung dengan PDI-P dan Dita Indah Sari yang turut membawa gerbongnya
di Pepernas ke PBR.

Apakah ini keliru? Tidak. Semata menunjukkan pola tetap bahwa gerakan
pemuda sangatlah politis. Argumen bahwa ini semata meluaskan medan perjuangan
dan melalui partai politiklah perubahan bisa dilakukan, dapat diterima. Banyak
orang memiliki pengaruh (influence), tapi sedikit orang yang memiliki kekuasaan
(power). Bergabung dengan partai membuat seseorang memiliki kekuasaan.

Kecenderungan kekuasaan inilah yang membuat ide pemimpin muda mengemuka.
Sukar untuk mengelak bahwa ide pemimpin muda sebenarnya lebih tepat dikatakan
sebagai pemimpin instan. Mereka yang mengajukan diri sebagai pemimpin muda
mengabaikan sejarah pemikiran kolektif publik, dari mana mereka berasal? Yang
terjadi pemimpin instan adalah sosok-sosok yang gemar mengiklankan diri di
media massa. Berharap publik mengenalnya, untuk kemudian memilihnya. Lalu, apa
bedanya dengan pemimpin selebriti?

Epilog

Kedua momentum di atas dapat dijadikan pijakan untuk memformulasi kembali
model gerakan yang mengarah pada rekonstruksi kebangsaan. Catatan yang bisa
diberikan pada momentum pertama adalah dibutuhkan pergeseran dari peran
"perlawanan" terhadap negara menuju peran "penyelamatan" bangsa. Perihal
momentum yang kedua, kita bisa becermin bahwa jika lahirnya pemimpin muda
sebagai keniscayaan, maka spirit tersebut bisa kita reguk dari para founding
fathers yang maju ke arena politik dengan kekuatan intelektual.

Jika meluaskan medan perjuangan untuk perubahan, mengapa tidak memilih menjadi intelektual yang bertujuan menginspirasi banyak orang? Siapa yang meragukan kekuatan gagasan? Di tengah krisis, publik membutuhkan inspirasi.
Bukan semata membangun image di layar kaca, sekaligus membodohi publik. Ayo,siapa berminat jadi intelektual?

Rabu, 08 Desember 2010

Laporan

Laporan Vikaria
Meri Apriana Lomi GA, S.Th
(Dalamang-Damsyik-Pantar Barat)


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gereja Masehi Injili Di Timor (GMIT) merupakan medan pelayanan bagi seluruh warga kristiani ter-istimewa bagi para abdi Allah (pelayan) dalam mewujudkan terang ke-Esaan mengangkat dan menetapkan warganya yang terpanggil untuk melaksanakan jabatan-jabatan khusus, guna memperlengkapi warga jemaat bagi pekerjaan pelayanan demi melaksanakan amanat kerasulan. pengadaan karyawan GEREJA adalah untuk mengisi formasi yang telah ditetapkan.
Setiap warga GEREJA memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi karyawan GMIT, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. Apabila pelamar tersebut diterima maka ia harus menjalani masa bimbingan khusus dan orentasi sebagai calon karyawan Gereja selama 1 ½ – 2 tahun dalam masa bimbingan khusus sebagai calon karyawan saya ditempatkan di jemaat Wilayah Dalamang, Klasis Pantar barat untuk menjalani masa vikariat yang ada.
B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan laporan ini baik yang pertama ke dua dan terakhir adalah sebagai pelaporan kegiatan pekayanan yang dijalani di Jemaat Wilayah Dalamang dalam mempersiapkan diri menjadi pendeta atau karyawan GMIT.
Dalam melaksanakan tugas pelayanan di jemaat, dalam jangka waktu yang telah ditentukan dimanfaatkan vikaris untuk melaksanakan berbagai kegiatan, adapun keterlibatan vikaris dalam pelayanan adalah melalui kegiatan-kegiatan seperti memimpin kebaktian-kebaktian, penggembalaan, melaksanakan tugas mengajar. Pendidikan Agama Kristen lewat katekisasi,, pengembangan keterampilan di berbagai bidang baik dalam pelayanan Gereja, kegiatan kemasyarakatan, mempelajari teologi yang dikembangkan oleh jemaat dan tentu saja kegiatan-kegiatan yang ada dilaksanakan dengan sepengetahuan dan koordinator bersama Mentor
BAB II
SEJARAH JEMAAT
A. PERKEMBANGAN JEMAAT TERAKIR
Jemaat wilayah Dalamang merupakan bagian dari Klasis Pantar Barat, yang secara struktur pemerintahan terdiri atas dua desa yang berada pada Kecamatan Pantar Barat Laut dengan batas-batas geografis sebagai berikut :
 Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Pantar
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Gunung Wesbila
 Sebelah Timur berbatasan dengan Jemaat Batu Putih (Wilayah Baranusa)
 Sebelah Barat berbatasan dengan Jemaat Ebenhaezer Kawali
Jemaat wilayah ini terbagi atas tiga mata jemaat yakni Damsyik Dalamang, Ebenhaezer Tulai, Imanuel Nadda. Sekalipun Damsyik Dalamang adalah pusat wilayah, tetapi secara historis yang merupakan jemaat tertua adalah jemaat Imanuel Nadda yang posisinya berdekatan dengan pusat Kecamatan Pantar Barat Laut (Desa Marica yang 98% warganya adalah kaum muslim).
Dari segi iklim, dapat dikatakan bahwa tempat ini memiliki cuaca yang panas karena posisinya terletak pada sepanjang pinggiran pantai. Sebagaimana jemaat desa, maka kondisi perekonomian jemaat ini adalah mereka yang bergerak di bidang pertanian dan sangat bergantung pada musim. Akan tetapi ada juga sebagian kecil jemaat lain yang selain sebagai petani tetapi juga menyibukkan dirinya dalam usaha rumput laut, yang berlokasi cukup jauh dari lokasi tempat tinggal jemaat.
Dalam perkembangan selanjutnya, baru pada tanggal 2010 ini muncul satu mata jemaat baru yakni jemaat Zaitun Pargini. Proses pecahnya jemaat ini telah berlangsung beberapa tahun sebelumnya. Jemaat ini merupakan merupakan pecahan dari mata jemaat Imanuel Nadda. Latar belakang perpecahan ini adalah karena kesalah-pahaman beberapa oknum pejabat gereja dalam mata jemaat tersebut yang pada akhirnya berkembang menjadi konflik antara suku asli dan suku pendatang. Konflik sebelumnya juga pada akhirnya dapat diselesaikan seiring perkembangan waktu. Sekalipun demikian tetapi pada akhirnya kehidupan persekutuan mata jemaat yang baru ini dapat berjalan dengan baik. Kondisi kehidupan pelayanan juga perlahan-lahan mulai diatur secara sederhana dengan pembagian tugas seadanya sekalipun dalam hal administrasi belum cukup memuaskan sebagai sebuah mata jemaat.
Dari segi pembangunan fisik,dapat dilihat bahwa jemaat ini masih berada pada kategori jemaat yang sedang membangun, baik yang di jemaat pusat wilayah (Damsyik) maupun di mata jemaat Zaitun sebagai mata jemaat termuda. Dana yang dipakai dalam pembangunan ini didapat dari swadaya jemaat berupa tanggungan wajib jemaat pada setiap bulannya dan sumbangan tenaga langsung dari jemaat. Yang menarik dalam proses pembangunan gedung gereja jemaat ini adalah bahwa pembagian tugas gereja itu dilakukan secara pergantian oleh kelompok-kelompok suku. Hanya saja kesadaran jemaat dalam mengikuti kebaktian masih sangat rendah. Dalam hal pembangunan rumah jabatan, hampir semua mata jemaat sudah ada rumah jabatannya masing-masing sekalipun yang lainnya sementara ada dalam proses membangun.
Satu hal yang paling penting ialah bahwa wilayah ini belum memiliki seorang tenaga pendeta, sejak nopember 2010 (waktu mutasi keluar pendeta dari jemaat ini). Sekalipun demikian semua pelayanan dapat berjalan dengan baik. Pelayanan sakramen dan pelayanan lainnya yang membutuhkan tenaga pendeta dilaksanakan langsung oleh KPWK. Sedangkan pelayanan-pelayanan rutin dilaksanakan oleh majelis jemaat dengan pembagian waktu yang teratur. Keadaan persekutuan majelis jemaat dalam wilayah ini dapat dilihat cukup baik dalam pelayanan tetapi dalam hal keterbukaan pengelolaan keuangan terasa masih sangat minim. Untuk itu perlu juga ada pembinaan, pengawasan dan pembimbingan yang baik terhadap para pejabat-pejabat gereja.
Struktur Personalia dan Job Description
Adapun Struktur Organisasi Jemaat Wilayah Dalamang yaitu :
I. Majelis Jemaat Wilayah Maliang :
Ketua : -
Wakil Ketua : 1. Pnt. A. Boling
2. Pnt. Welem Wabang
3. Pnt. J. Baddu
Sekretaris : Pnt. N. Ribu
Wakil Sekretaris : 1. Pnt. Ribu
2. Pnt. Boling
3. Pnt. Ishak Kawa
Bendahara : Diaken.
Wakil Bendahara : 1. Pnt. J.J. Mau
2. Pnt.
3. Pnt. R. Kawa
II. Badan Pertimbangan dan Pengawasan Pelayanan Jemaat (BPPPJ) Wilayah Maliang Periode 2007/ 2011
Ketua : E. Jalla
Sekretaris : Paulus Wabang
Anggota : 1. A. Waang
III. BP KF
1. PAR
Ketua :
Sekretaris :
Bendahara :
2. Pemuda
Ketua :
Sekretaris :
Bendahara :
3. Perempuan GMIT
Ketua :
Sekretaris :
Bendahara :
4. PD
Ketua :
Sekretaris :
Bendahara :
Catatan
1. Ada perubahan Struktur Organisasi dan juga Badan Pengurus Kategorial Fungsional tetapi sementara dalam proses.
2. Aset-aset Jemaat belum terampung
Sedangkan Job Description dapat digambarkan secara umum sebagai berikut:
1) Ketua
- Menjalankan Pimpinan sebagai Ketua Majelis
- Bersama Sekretaris mewakili Majelis Jemaat ke dalam ke luar
- Memberi Pimpinan arahan, pengawasan terhadap pelaksanaan program Majelis Jemaat dan pelaksanaan Keputusan dari Majelis Jemaat Harian, Majelis Jemaat, Persidangan/ Klasis/ KPWK dan Keputusan Sinode serta Majelis Sinode.
- Memimpin Persidangan Majelis Jemaat, Jemaat Harian, Majelis Jemaat pada Mata Jemaat dan Persidangan Jemaat
- Bersama Sekretaris menandatangani surat-surat keluar dan surat keluar Majelis Jemaat
- Bersama Bendahara memegang dan melaksanakan kebijakan atas pengolahan keuangan dan harta milik GMIT di lingkungan Jemaat
- Bersama Bendahara menandatangani surat-surat dan warkat yang berhubungan dengan keuangan dan harta milik GMIT di lingkungan Jemaat
- Bersama Bendahara bertanggung jawab atas setiap pemasukan dan pengeluaran keuangan dan harta milik GMIT di lingkungan Jemaat
2) Wakil Ketua
- Menjalankan fungsi Ketua apabila Ketua berhalangan
- Membantu Ketua dan Sekretaris dalam menyelenggarakan Persidangan di dalam Jemaat
- Memimpin persidangan Jemaat apabila Ketua Majelis Jemaat berhalangan
- Memimpin dan membina salah satu komisi
- Membantu Ketua memantau pelaksanaan program
3) Penanggung jawab
Sementara Pendeta tidak berada di tempat, memimpin dan mengatur program pelayanan Jemaat, tetapi tidak berhak melakukan sakramen
4) Sekretaris
- Membuat Notulen pada setiap rapat
- Mencatat, menyimpan dan memelihara dokumen-dokumen Jemaat
- Mempersiapkan berita mimbar pada setiap kebaktian
- Bersama Ketua menandatangani semua surat keluar dan surat Keputusan Majelis Jemaat
- Memimpin dan mengelola Administrasi ketatausahaan Jemaat yang mencangkup korespondensi, personil, urusan rumah tangga, persidangan dan sebagainya
- Bersama Ketua mempersiapkan Materi Persidangan
5) Wakil Sekretaris
- Menjalankan tugas Sekretaris, apabila Sekretaris berhalangan
- Membuat jadwal doa di konsistori pada semua kebaktian di Gereja
6) Bendahara
- Menerima dan mencatat keuangan Jemaat sesuai sumbernya
- Menyiapkan konsep mengenai kebijaksanaan Majelis Jemaat tentang penerimaan dan pengeluaran keuangan
- Menyusun RAPB Jemaat
- Bersama Ketua bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan keuangan
- Memimpin kegiatan Administrasi Keuangan
- Memelihara inventaris Jemaat
- Bertanggung jawab atas semua keuangan Jemaat, baik ke dalam maupun keluar Jemaat
7) Wakil Bendahara
- Melaksanakan tugas Bendahara apabila Bendahara berhalangan
- Bersama Bendahara mengkoordinir semua keuangan Jemaat pada setiap kebaktian
- Bersama Bendahara membuat Laporan keuangan Jemaat
- Bersama Bendahara bertanggung jawab atas semua keuangan Jemaat baik ke dalam maupun keluar Jemaat
8) Penatua
Memimpin ibadah rumah tangga dan melaksanakan tugas pelayanan yang dipercayakan kepadanya
9) Syamas atau Diaken
- Melayani pelayanan diakonia
- Menyampaikan pertanggungjawaban tentang pelaksanaan tugasnya kepada Majelis Jemaat Harian melalui Sekretaris Jemaat
- Memimpin ibadah rumah tangga dan melaksanakan tugas pelayanan yang dipercayakan kepadanya.
10) Koster
- Mempersiapkan tempat ibadah
- Mengingatkan Jemaat akan jam ibadah melalui bel Gereja
- Menjemput Pemimpin Kebaktian
- Membantu Bendahara menjaga dan memelihara inventaris dan fasilitas Gereja
- Menjaga dan memlihara kebersihan lingkungan di dalam maupun di luar
- Mengelola dan menata lingkungan gereja
11) Vikaris
- Membangun relasi sosial
- Mempelajari proses penyelenggaraan pelayanan
- Terlibat dalam pelayanan Jemaat melalui kebaktian-kebaktian
- Pengembalaan atau pastoral
- Pendidikan Agama Kristen melalui PAR dan katekisasi sidi
- Pembinaan kategorial fungsional
- Pengembangan ketrampilan
- Mempelajari teologi yang dikembangkan oleh Jemaat
Pengorganisasian Pelayanan
Majelis Jemaat Wilayah Dalamang oleh karena kefakuman kepemimpinan dalam hal bahwa belum terdapat ketua majelis jemaat (pendeta) maka tanggungjawab berada di tangan KPWK yang juga sebagai pendeta dibantu oleh Vikaris, penanggungjawab di Mata Jemaat, Penatua, Diaken, Koster, Badan Pengurus Kategorial. Fungsional dan juga Panitia-panitia khusus yang dibentuk untuk membantu pelayanan Gereja.
Secara umum dapat dilihat pada personil kenggotaan Majelis Jemaat se Wilayah Dalamang.
PERSONIL KEANGGOTAAN MAJELIS SE-WILAYAH DALAMANG
I. MATA JEMAAT DAMSYIK DALAMANG
- Pendeta : - : - orang
Perempuan : -
Jumlah : - orang
- Penatua : Laki-laki : 3 orang
Perempuan : 1 orang
Jumlah : 4 orang
- Diaken : Laki-laki : 7 orang
Perempuan : 6 orang
Jumlah : 13 orang
- Koster : Laki-laki : 2 orang
Perempuan : -
Jumlah : 2 orang
Total : 19 orang

II. MATA JEMAAT EBENHAZER TULAI
- Pendeta : Laki-laki : -
Perempuan : -
Jumlah : -
- Penatua : Laki-laki : 3 orang
Perempuan : -
Jumlah : 3 orang

- Diaken : Laki-laki : 5 orang
Perempuan : 4 orang
Jumlah : 9 orang
- Koster : Laki-laki : 1 orang
Perempuan : -
Jumlah : 1 orang
Total : 13 orang
III. MATA JEMAAT IMANUEL NADDA
- Pendeta : Laki-laki : -
Perempuan : -
Jumlah : -
- Penatua : Laki-laki : 3 orang
Perempuan : 2 orang
Jumlah : 5 orang
- Diaken : Laki-laki : 3
Perempuan : 3 orang
Jumlah : 6 orang
- Koster : Laki-laki : 1 orang
Perempuan : - orang
Jumlah : 1 orang
Total : 12 orang
Jumlah keseluruhan Personil : 40 orang dengan rincian :
Pendeta : - orang
Penatua : 12 orang
Diaken : 27 orang
Koster : 4 orang
Untuk memudahkan pelayanan maka dibentuklah “Oikos” dalam bahasa Yunani berarti rumah tangga, pada tiap Oikos dikoordinir oleh seorang Penatua di Oikos masing-masing. Jemaat Pusat, Damsyik Dalamang terdiri atas 8 Oikos, Mata Jemaat Ebenhazer terdiri atas 4 Oikos dan Mata Jemaat Imanuel Nadda terdiri dari 5 Oikos,
Lain-lain
1. Kebaktian Utama berlangsung 1 kali pada setiap hari Minggu, pukul 08.00 pagi di masing-masing mata jemaat dan dilayani oleh Pendeta, penanggung jawab,penatua dan Vikaris berdasarkan Roster Pelayanan. Pada setiap 3 bulan sekali diadakan pertukaran mimbar oleh Pendeta dari Jemaat lain dalam lingkungan Klasis Pantar Barat dengan menggunakan Liturgi Model I dan II
2. Kebaktian hari raya dilaksanakan berdasarkan Hari Raya Gerejawi dengan menggunakan liturgi khusus yang dikeluarkan oleh Sinode GMIT dan juga Liturgi-liturgi Kontekstual yang dibuat oleh Klasis (KPWK).
3. Kebaktian Khusus meliputi Kebaktian Pemakaman, Kebaktian Pemberkatan Nikah, dilayani sesuai kebutuhan Pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus diadakan setiap 3 bulan sekali, Baptisan Kudus dilakukan sesuai kebutuhan Jemaat, Kebaktian Peneguhan Sidi diadakan setahun sekali. Selain itu juga ada kebaktian-kebaktian khusus lainnya seperti Kebaktian Makan baru (Panen) dan juga Tanam Kebun.
4. Pelayanan Diakonia Khusus pemberian Diakonia karitatif dilakukan kepada yang berhak pada setiap bulan Desember, dana berasal dari sumbangn Jemaat dan Kas APBJ.
5. Pelayanan Teritorial meliputi Ibadah Rumah Tangga yang berlangsung di setiap Oikos. Juga termasuk didalamnya perkunjungan-perkunjungan ke rumah-rumah Jemaat yang membutuhkan pelayanan, misalnya sakit atau kedukaan.
6. Pelayanan Kategoril : Ibadah Kaum Perempuan GMIT dilakukan di rumah masing-masing anggota. kegiatan kaum Bapak tidak berjalan. Di Mata Jemaat Damsyik ibadah Kaum Pemuda belum berjalan baik. Di Mata Jemaat Ebenhaezer dan Imanuel, Ibadah pemuda langsung dibagi menurut roster yang diumumkan kepada masing-masing pemuda/i di tempat ibadah atau juga lewat warta jemaat, Kebaktian PAR meliputi kebaktian minggu di Gereja setiap jam 11.00 pagi, setelah kebaktian utama berlangsung.
7. Pelayanan Fungsional yaitu PS dan VG mengisi Liturgi walaupun tidak secara teratur, sedangkan kegiatan persekutuan doa berlangsung sesuai jadwal hari di masing-masing persekutuan doa pada setiap minggunya.
B. VISI KEDEPAN DALAM TERANG INJIL
GMIT adalah keluarga Allah yang merupakan umat keluaran yang diutus ke dalam dunia untuk membawa Syalom Allah. Setiap anggota GMIT berfungsi sebagai surat Kristus yang hidup guna membawa Kabar Baik bagi dunia sesuai dengan teladan Kristus, sang Diakonos Agung. Dalam menjalankan fungsi tersebut, setiap anggota GMIT bekerja dengan setia, taat produktif dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran yaitu pembebasan bagi yang tertindas, keseteraan derajat dan adanya keseimbangan di antara pemenuhan hak dan kewajiban serta menggunaan ciptaan Allah (ekologi) secara bertangung jawab dan berkelanjutan.
Visi pelayanan GMIT adalah menjadi jemaat yang missioner dalam tema periode, Damai sejahtera bagi kamu “…sekarang Aku Mengutus Kamu” dalam visi ini Gereja diutus keluar untuk membawa Syalom Allah dengan menyatakan dan mengatakan suatu Kerajaan Allah di tengah persoalan jemaat baik itu potret kemiskinan warga GMIT, buruknya kualitas lingkungan, pendidikan yang rendah, tingkat kesehatan yang rendah, serta masalah-masalah aktual lainnya.
Persoalan-persoalan di atas tidak dapat dipungkiri juga merupakan persoalan di Klasis Pantar Barat khususnya di Jemaat Wilayah Maliang. Untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut tidak semudah membalikan telapak tangan dan untuk itulah Gereja dipangil untuk terus menerangi dan menggarami dunia ini



BAB III
MENGENAL PELAYANAN SECARA HOLISTIC (PANCA PELAYANAN)
Dari awal sejarah lahirnya gereja, gereja selalu mengalami berbagai pergumulan dan tantangan dalam pelayanan. Namun kita dapat bersyukur karena segala tantangan yang ada tidak bisa menghambat gereja untuk terus berkembang. Dalam melaksanakan amanat kerasulan gereja, Jemaat Wilayah Dalamang juga mengalami berbagai tantangan dan kelemahan terutama dalam melaksanakan panca pelayanan yang ada. Dari sudut panca pelayanan ada beberapa kelemahan atau tantangan.

A. DESKRIPSI :

1. KOINONIA (BERSEKUTU)
Tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam bidang persekutuan mencakup : mengawasi pelaksanaan ajaran dan pengakuan gereja ; menumbuh dan mengembangkan kesadaran tentang hidup bergereja ; misi gereja ; membina persekutuan dalam jemaat ; penilikan disipilin ajaran dan disiplin hidup ; melaksanakan ketentuan – ketentuan tata gereja dalam jemaat dan lain sebagainya.
Melemahnya ikatan persekutuan kristiani di dalam keluarga dan juga berjemaat karena di pengaruhi oleh pola hidup individualis yang tingi, kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah.
Terdapat tanda – tanda bahwa sistem pelayanan persekutuan belum menjamin keseimbangan di antara hak dan kewajiban baik warga jemaat kepada pihak gereja, maupun gereja kepada warga jemaat.
Beberapa contoh yang bisa diangkat untuk membuktikan hal diatas :
- Ibadah rumah tangga yang hanya dihadiri oleh majelis yang melayani dan keluarga yang terlayani
- Adanya pandangan yang membeda – bedakan jabatan pendeta, penatua, diaken dll.
- Hubungan pelayanan yang masih bersifat hirarki (atasan – bawahan) dan pola hidup mentuakan tua adat.
2. KESAKSIAN (MARTURIA)
Tugas wewenang dan tanggung jawab dalam bidang kesaksian mencakup: mengembangkan usaha berteologi melalui pembinaan jemaat/warga gereja; menyelenggarakan pendidikan agama kristen bagi warga jemaat; melakukan kegiatan pemberitaan injil di dalam, di luar gereja; serta memperlengkapi warga jemaat agar mampu melaksanakan tugas kesaksian baik sebagai pribadi maupun sebagai jemaat misioner.
Pelaksaaan pelayanan mambuka lebih banyak berorientasi pada aspek kerohanian semata sebagai akibat dari pandangan jemaat yang masih memilih – memilih dan mempertentangkan antara spiritual dan material, rohani dan jasmani, dan lain sebagainya. Pemahaman jemaat tentang pelayan yang holistik belum mendalam. Kesaksian verbal masih dominan dibandingkan kesaksian yang berdaya guna atau nyata.
3. IBADAH (LITURGI)
Tugas, wewengan dan tanggung jawab dalam bidang liturgi mencakup : melaksanakan semua jenis dan bentuk ibadah dan pelayanan pastoral kepada anggota jemaat ; mengajarkan dan pemberitaan Firman Allat serta melayani Sakramen ; membina dan meningkatkan pemahaman jemaat tentang arti dan makna ibadah yang benar ; serta mengusahakan. Tersediannya sarana – sarana yang mendukung terciptanya suasana liturgi dalam ibadah.
Jemaat di Wilayah Maliang pada umumnya baru memahami pelayanan liturgi secara terbatas dan mensakralkan jenis – jenis ibadah atau kebaktian digereja padahal makna liturhi dalam arti yang luas harus meliputi juga seluruh aspek hidup manusia yang perlu dipersembahkan kepada Tuhan Allah dalam hidup berkeluarga, bergereja bermasyarakat pada setiap waktu.
4. PELAYANAN KASIH (OIKONIA)
Tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam bidang pelayanan kasih mencakup: membina dan memperlengkapi warga jemaat untuk mampu menjadi persekutuan yang melaksanakan pelayan kasih; melaksanakan pelayanan kasih yang bersifat karitatif, reformatif dan transformatif; pendidikan umum dan kesehatan serta latihan–latihan ketrampilan bagi masyarakat; bekerja sama dengan pemerintah, organisasi dalam rangka menghadirkan tanda – tanda Kerajaan Allah, dan lain sebagainya
Dalam pelayanan GMIT dikenal 3 jenis bentuk pelayanan yakni Diakonia Karikatif, Transformatif dan Reformatif dan pada umumnya warga jemaat beranggapan bahwa pelayanan Diakonia Karikatif itu sudah cukup, padahal bantuan itu tidak dapat di andalkan untuk mengubah kondisi sosial dari seseorang namun tidak dapat disangkali pula masalah kemiskinan yang dialami warga gereja seolah – olah memaksa gereja untuk lebih fokus pada pelayanan diakonia kearifan ini menjadi salah satu penghambat dalam pelayanan Diakonia.
5. PENATALAYANAN (OIKONOMIA)
Tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam bidang pelayanan mencakup : memegang dan melaksanakan kepemimpinan umum atas jemaat yang mencakup pelayanan dari unit – unit pebantu Majelis Jemaat dan Majelis Mata Jemaat ; program pelayanan dan APBJ ; manejeman personil ; perbendaharaan dan perkantoran gereja ; menyelenggarakan persidangan jemaat, majelis jemaat dan majelis mata jemaat, disamping tugas – tugas yang lainnya.
Ketiadaktaatan atau penyimpangan terhadap tata GMIT, pedoman organisasi menjadi faktor penghambat dalam bidang oikonomia. Faktor sikap mental, moral dan spiritual pra pelaku pelayanan pada semua aras gereja serta faktor intelektual dan pendidian yang amat rendah. Seolah – olah saling memperlengkapi untuk menghambat pertumbuhan pelayanan gereja disamping itu implementasi prinsip prisbiterial sinodal masih belum mantab pada organisasi di tingkat jemaat


PERBENDAHARAAN

Segala sumber daya yang dimiliki oleh gereja adalah pemberian Tuhan melalui umatNya harus dipelihara, dikembangkan dan digunakan bagi pelaksanaan kerasulan dan untuk itu gereja dipanggil untuk memperlengkapi warganya untuk mengembangkan dan memanfaatkan berkat Allah tersebut secara baik dan bertanggungjawab demi mewujudkan damai sejaterah Allah dimana gereja itu hadir.
Perbendaharaan GMIT mencakup uang, barang bergerak dan yang tidak bergerak. Perbendaharaan yang ada adalah dari dan milik Allah, di peroleh dari persembahan jemaat atau juga diperoleh dari sumbangan atau bantuan dari pihak ketiga dan dipergunakan untuk melaksanakan amanat kerasulan.
Dalam pemanfaatannya, perbendaharaan gereja wajib dipakai secara baik dan benar sebagai wujud pertangungjawaban iman kepada Allah pemilik dari segala perbendaharaan yang ada. Pengelolaan dan pemanfaatan perbendaharaan gmit Harus dilakukan secara terpadu, terbuka, hemat dan dapat dipertangung jawabkan.
Wewenang kepemilikan atas keseluruhan sumber daya termasuk perbendahatraan, pada aras Jemaat dan aras sinodal di pegang oleh sinode dan wewenang pengelolaannya dipegang oleh majelis Sinode dan majelis Jemaat serta dipertangung jawabkan kepada sinode dan untuk memperoleh daya guna dan hasil guna dari pemanfaatan perbendaharaan GMIT, dilakukan pengawasan secara berkala dan teratur oleh BPPPS ditingkat sinode, dan BPPPJ di tingkat Jemaat sedangkan tata dan pengawasan dilakukan sesuai dengan peraturan pokok tentang perbendaharaan
Di jemaat wilayah Maliang pengelolaan dan pemanfaatan perbendaharaan dilakukan secara sederhana, walaupun telah mengikuti peraturan GMIT tentang perbendaharaan Jemaat. Pengelolaan dan pertangungjawaban dilakukan secara sederhana hal ini disebabnkan oleh sumber daya manusia yang terbatas dan kantor gereja yang beraktifitas hanya pada hari sabtu sore itupun tidak rutin.
Pendapatan Jemaat berasal dari kolekte kebaktian utama, dan ibadah-ibadah lainnya, hasil lelang, penjualan hasil kebun gereja, dan lain sebagainya seperti bantuan dari pihak luar maupun dari pihak pemerintah.
Pemanfaatan pendapatan digunakan untuk setoran ke MS GMIT baik itu dana rutin 10 %, sentralisasi Gaji pokok, untuk kegiatan-kegitan klasis, tunjangan Pendeta, honor majelis jemaat harian,koster, guru-guru PAR dan untuk membiayai program dan kegiatan-kegitan gereja.
Sistim pertangungjawaban atau pelaporan biasanya dilakukan secara lisan melalui warta jemaat, kecuali hal-hal khusus menyangkut keuagan yang perlu dilakukan secara tertulis tapi berjalan tidak lancar.
Pengelolaan kebun gereja dipercayakan kepada jemat-jemaat yang terbagi dalam oikos-oikos dan di koordinir oleh majelis Harian dan badan penasihat oikos akan tetapi pertangung jawabannya masih sanggat minim, sedangkan mengenai status kepemilikan tanah maupun kebun gereja hanya berdasarkan surat penyerahan dari pemilik tanah kepada gereja dan tanah-tanah tersebut belum bersertvikat resmi.
B. ANALISIS PANCA PELAYANAN
Allah menempatkan gereja di tengah – tengah dunia ini untuk mewujudkan damai sejahtera yang datang dari pada-Nya. GMIT dalam pelayanannya mengacu pada panca program pelayaan yakni koinonia, marturia, liturgia, diakonia dan oikonomia, kelima program ini dalam pelaksanaan mengalami berbagai macam pasang-surut.
Dibidang koinonia, pesekutuan jemaat umumnya masih terpelihara dengan baik, hal ini tampak dalam kesadaran bergereja yang masih kuat, kesediaan melaksanaan keputusan-keputusan persidangan, kesediaan menampung beban pelayanan dan terbentuknya wadah. Pelayaan kategorial dan fungsional, namun perlu disadari bahwa persekutuan jemat yang terpelihara ini mendapat tantangan baik dari dalam gereja itu sendiri maupun dari luar.
Masalah kemiskinan acapkali menjadi kambing hitam yang mempengaruhi pola hidup yang mementingkan diri sendiri. Selain itu masih terdapat kekuatan hubungan struktur ditingkat jemaat yang bersifat hirarkis (atasan-bawahan). Hal ini berdampak pada melemahnya ikatan persekutuan kristen baik di dalam keluarga, diantara sesama warga dalam satu jemaat bahkan masyarakat luas. Gereja harus memberi perhatian penuh pada hal ini baik lewat pembinaan-pembinaan bahkan pastoral khusus, demi terselenggaranya suatu persekutuan yang baik.
Dibidang martuaria banyak warga jemaat, terutama pada usia anak, remaja dan pemuda masih kurang mendapat perhatian dalam pelayanan seperti pendidikan anak dan remaja serta PAK dalam rangka memenuhi kebutuhan perkembangan iman. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan lemahnya pemahaman yang benar terhadap pokok-pokok ajaran GMIT serta lemahnya penghayatan dan pengalaman nilai – nilai kristiani. Gereja perlu mengusahakan suatu metode pelayanan yang merangkul dan menjawab pergumulan warga jemaat dalam keberadaan mereka.
Di bidang liturgi dampak negatif globalisasi dan sekularisasi mengancam eksistensi makna liturgi gereja. Selain itu model liturgi I dan II yang lasim digunakan dalam kebaktian utama memang kaya akan makna teologis tapi dalam pemanfaatannya atau penggunaannya perlu diperhatikan secara seksama tidak menjadi suatu hal yang membosankan bagi jemaat, liturgi yang kontekstual perlu diusahakan gereja sehingga memberi makna yang seutuhnya kepada gereja tentang makna ibadah yang bukan hanya exitensi kehidupan termasuk ketika kita berada di luar greja.
Pada umumnya warga GMIT beranggapan bahwa pelayanan diakonia karikatif itu sudah cukup, padahal bantuan saja tidak cukup untuk dapat diandalkan mengubah kondisi sosial ekonomi yang baik.
Di Jemaat Wilayah Dalamang pelayanan diakonia transformatif sudah dilaksanakan dengan sebuah taman bermain PAUD, namun masih menyisahkan permasalahan lanjutan seperti kurangnya sarana dan prasarana yang memadai dan sebagainya. Keterbatasan dana menjadi penyebabnya.
Sedangkan pelayanan diakonia reformatif, yang bertujuan untuk keadilan dalam masyarakat belum dapat dilaksanakan secara baik dan merata karena gereja belum memiliki wawasan yang jelas disertai keberanian bertindak melawan sistim dan pelaku.
Di bidang oikonomia, ketidaktaatan dan penyimpangan terhadap pedoman organsiasi, serta pedoman lainnya tentang ketatausahaan menghambat pelayanan di bidang ini. faktor intelektual / pendidika, faktor sikap mental, moral, spiritual dari para pelaku pelayanan pada semua aras pelayanan juga menjadi penyebab utama. Selain itu sistim presbiterial sinodal seolah – olah mendapat lawan dari sistim hirarki yang sudah menjadi darah daging dalam sistim pelayanan yang ada di dalam jemaat.
Walaupun demikian gereja harus perlu mengusahakan menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di tengah-tengah dunia dalam sistem yang ada, sehingga terjadi keseimbangan antara pemenuhan hak dan kewajiban antara pihak gereja dan warga jemaat.
C. USUL SARAN :
- Gereja sebagai persekutuaan di tempatkan Allah dalam dunia oleh karena itu aksi pastoral perlu diusahakan secara lebih untuk mengeratkan persekutuan.
- Pelayanan kesaksian yang holistic perlu ditingkatkan dan digiatkan baik kedalam maupun keluar gereja.
- Gereja perlu mengusahakan suatu liturgi yang benar-benar kontekstual dimana Gereja itu berada dalam rangka mempertahankan makna liturgi yang sebanarnya dari pada perkembangan dan moderenitas yang mengangu eksisitensi makna liturgi
- Gereja perlu memberi pemahaman tentang makna pelayanan diakonia transformative dan reformatif baik kepada warga jemaat maupun kepada gere itu sendiri.
- Pemahaman asas Presbyterial Sinodal perlu di tanamkan terus menerus kepada setiap warga Gereja salain itu pelatihan dan pendampingan peru di lakukan bagi para pengurus Gereja agar pengelolaan perbendaharan dan atministrasi Gereja dapat berjalan dengan baik.
BAB IV
REFLEKSI
Masa Vikariat adalah sebuah proses dimana seorang Vikaris dipersiapkan untuk menjadi Pendeta atau Karyawan GMIT, dimana Vikaris berada di Jemaat untuk belajar melatih diri dalam melaksanakan tugas pelayanan atau amanat kerasulan Gereja. Setelah melewati proses yang cukup panjang, selama berada di Jemaat banyak hal yang dipelajari di dalam kehidupan pelayanan di Jemaat maupun secara umum di tengah-tengah masyarakat. Ada hal-hal baru atau nilai-nilai tambah yang Penulis dapatkan dengan fokus utama pada pengenalan konteks wilayah pelayanan maupun Jemaat. Disamping itu tugas dan tanggung jawab Pendeta beserta persoalan-persoalan juga mendapat perhatian. Banyak pengalaman berharga yang Penulis alami selama masa Vikariat ini.
Sebagai pelayanan yang adalah juga seorang pemimpin ketika diperhadapkan dengan berbagai macam persoalan-persoalan jemaat kita dituntut untuk bertahan terhadap segala realitas yang ada. Sikap siaga, tindakan yang berhati-hati dan keputusan yang tepat diperlukan dalam mengantisipasi dalam berbagai macam dampak dari berbagai fenomena yang nampak sebagai persoalan jemaat. Mungkin berbagai metode dalam mengatasi berbagai macam persoalan tersebut kita kuasai dengan baik, kita punya strategi-strategi pelayanan yang tepat, namun lebih utama dari segala sesuatu itu adalah bagaimana membawa pergumulan-pergumulan itu kepada Allah sebagai pemilik jemaat yang telah memanggil dan mengutus para abdi-Nya. Yang perlu dipahami adalah bahwa kita hanya sebagai alat didalam tangan-Nya untuk mengembang suatu misi yang agung. Ini berarti sikap penyerahan diri yang total didalam genggaman Allah dan sikap kerendahan hati mesti menjadi hal penting yang mendasar dalam pribadi seorang abdi Allah.
Penulis selama menjalani masa Vikariat diberikan kesempatan oleh Mentor untuk mengenal konteks pelayanan secara menyeluruh di mulai dari pengenalan wilayah pelayanan Klasis Pantar Barat sebagaimana dibagian awal pelaporan di jelaskan bahwa Klasis Pantar Barat terdiri atas 30 Mata Jemaat yang terbagi dalam 1 Jemaat Tunggal dan 10 Jemaat Wilayah. Dari 30 Mata Jemaat tersebut, Penulis sudah melihat secara langsung posisi pasti secara geografis, 19 Mata Jemaat bahkan ikut berbakti dan mengambil bagian dalam pelayanan beberapa diantaranya. Secara umum dapat digambarkan bahwa semua Mata Jemaat tersebut dapat dijangkau dengan kendaraan bermotor kecuali beberapa Jemaat yang terisolir secara Geografis apalagi pada musim hujan.
Dari 30 mata Jemaat tersebut hanya dilayani oleh 9 orang Pendeta, itu berarti ada 2 Jemaat Wilayah yang belum ada Pendetanya. Memang di Mata-mata Jemaat sudah ada penanggung jawab atau Penatua dan Diaken yang melayani, tapi itu masih dirasah kurang apalagi hampir seluruh Jemaat di Klasis Pantar Barat selalu merindukan dilayani oleh seorang Pendeta. Penulis sendiri menjalani masa vikariat disuatu jemaat wilayah yang tidak memiliki pendeta. Pada awalnya hal ini dirasa sebagai suatu beban yang berat. Karena mau tidak mau penulis pasti akan diperhadapkan dengan berbagai macam dinamika pelayanan yang di dalamnya didominasi oleh para jemaat awam yang juga dapat dikatakan mengusai pemahaman teologi dan strategi pelayanan yang dapat dikatakan pas-pasaan tetapi disisi lain kondisi ini dirasakan sebagai sesuatu yang sangat kuat dan sulit dibendung untuk diarahkan pada posisi yang sebenarnya, dalam situasi inilah penulis berada sebagai seorang vikaris yang juga baru mau menata pemahaman dan pengalaman dalam pelayanan. Terasa ini merupakan suatu proses yang cukup sulit penulis tempuh tetapi sekalipun demikian proses demi proses terlewati dan ternyata punulis harus mengakui bahwa ada begitu banyak makna yang dipahami sebagai mutiara-mutiara berharga yang dapat dipakai sebagai bekal dalam menata diri sebagai abdi Allah dalam proses selanjutnya.
Selain belajar dari Jemaat dan ikut bergumul dalam persoalan-persoalan Jemaat, Penulis juga dapat mempraktekan Pengetahuan Teologis yang di dapat selama Perkuliahan di bidang Administrasi Gereja . ada banyak hal baru yang Penulis pelajari namun di sadari pula bahwa ada banyak hal yang butuh di benahi termasuk di dalamnya Administrasi Perbendaharaan. Beberapa cara secara langsung coba dilakukan baik pendekatan atau pembinaan secara langsung maupun pendampingan secara umum, namun SDM yang terbatas menjadi salah satu kendala tersendiri yang menghambat pelayanan.
Penulispun belajar beberapa hal yang dapat dikembangkan dan Panulis rasakan sangat bermanfaat untuk pembentukan diri sebagai Calon Pelayan. Tentang tugas dan tanggung jawab Pendeta sebagai pelayan Firman Allah, sebagai Gembala, sebagai Pemimpin Jemaat, dan sebagai Pejabat Organisasi, semuanya itu Penulis peroleh dalam keseharian pelayanan bersama dengan Pendeta sebagai Mentor maupun Anggota Majelis Jemaat lainnya baik itu Penatua, Diaken dan lain-lain.
Masa Vikariat menjadi sarana yang baik bagi Penulis untuk dapat mengefaluasi diri, kepribadian, tingkah laku, tutur kata dan sebagainya. Penulis dapat belajar bagaimana membentuk jati diri sebagai pelayan di tengah-tengah kehidupan berjemaat. Penulis menyadari bahwa Penulis tidak mempunyai keahlian atau potensi yang menonjol untuk dipakai dalam pelayanan di tengah-tengah pelayanan. Semua yang ada pada Penuilis terbatas, kekuatan yang ada pada Penulis hanya dari Tuhan dengan sedikit talenta yang ada. Banyak kelemahan dan kekurangan yang Penulis anggap dapat menghambat Penulis dalam mempersiapkan diri sebagai Calon Pelayan atau Karyawan GMIT. Seperti cepat merasa jenuh dan kontrol emosi yang kurang stabil.
Sekalipun sejak dari awal masa vikariat ini ada hal-hal yang terasa berat sekali penulis jalani, seperti perasaan jenuh, bosan dan sepi karena berpisah jauh dari orang tua, saudara-saudara bahkan teman-teman tetapi banyak hal pula penulis rasakan sebagai saat-saat yang membahagiakan dan memberi rasa damai. mKetika ada penerimaan yang baik dari jemaat, yang tidak hanya menganggap penulis sebagai seorang vikaris yang sedang melaksanakan tugas tetapi juga sebagai seorang anak, dan saudara bagi mereka. Penulis menikmati saat berkumpul dengan jemaat dalam segala keberadaan mereka. Semua proses itu sekalipun sederhana dan berkaitan dengan orang-orang yang sedrhana pula tetapi bagi penulis itu adalah sesuatu yang tidak sederhana karena penulis lebih dapat mengerti apa artinya menjalani suatu proses menjadi pelayan Tuhan.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
 Persekutuaan jemaat masih terpelihara namun mendapat ancaman serius jika tidak dipelihara dengan baik, ancaman itu berasal dari dalam maupun dari luar gereja.
 Semangat bersaksi yang di tunjukan warga jemaat baik secara individu maupun berkelompok namun lebih banyak berorentasi pada aspek kerohanian semata, pemahaman jemaat tentang kesaksian holistic masih belum mendalam dan nyata.
 Umumnya Jemaat hanya memahami pelayanan liturgi hanya sebatas pada waktu kehadiran di gereja, makna liturgi yang luas yang meliputi selurus aspek hidup manusia ysng perlu dipersembahakan kepada Allah belum dipahami secara baik dan benar
 Pelayan diakonia yang baru dikenal oleh jamaat adalah pelayanan diakonia karitatif, sedangkan pelayanan diakonia transformatif dan reformatif belum terlalu nampak
 Penatalayanan dijemaat mendapat tantangan prinsip presbiteriall sinodal belum berjalan dengan baik. Sistem hierarki masih sangat berpengaruh dalam gereja.

B. USUL-SARAN
 Bagi Majelis Sinode GMIT :
Perlu diadakannya kunjungan secara berkala ke klasis-klasis untuk melihat dan mengetahui, dan secara langsung menggumuli persoalan-persoalan yang ditemui ditiap-tiap klasis karena disetiap klasis memiliki keanekaragaman persoalan yang dipengaruhi oleh faktor geografi, sosial ekonomi, budaya, pendidikan, dsb.
 Bagi Mentor
Pengawasan dalam bentuk monitoring dan evaluasi kegiatan vikaris perlu ditingkatkan agar dapat memantau secara langsung perlembangan vikaris di jemaat.
 Bagi vikaris
Agar lebih fokus dan bertanggungjawab di tempat pelayanan, semakin mendalami aturan-aturan gereja.
PRAKTEK AKUNTANSI DALAM BUDAYA KAPITALISME
DANIEL TONU

ALUMNI UNIVERSITAS PGRI NTT

Dalam perkembangannya ilmu pengetahuan dan kapitalisme selalu berinteraksi secara aktif melalui gerak dialektika yang tidak dapat dihindarkan, gerak ini memunculkan pula perkembangan teori ilmu pengetahuan yang sejalan dengan kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme secara pasti telah melahirkan teknologi yang membawa perubahan radikal dunia modern. Ilmu pengetahuan, teknologi dan kapitalisme akhirnya menjadi tiga pilar yang saling berperan dalam membentuk jaringan rasionalitas instrumental, rasionalitas efisiensi, birokrasi dan kalkulasi cost/benefit untuk memerdekakan dan mencerahkan manusia sesuai dengan cita-cita pencerahan (Budiman 1997 ; 73). Akuntansi sebagai salah satu ilmu sosial juga merupakan ilmu pengetahuan dan prakteknya yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme. Jaringan kerja dan relasi-relasi yang dibentuk kapitalisme telah mengubah perilaku dalam praktek akuntansi serta turut dalam mewarnai teori akuntansi yang disebut-sebut sebagai instrumen penting dalam dunia bisnis (the language of business). Akuntansi dalam lingkungan kapitalisme menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau ikut tergilas dalam derasnya arus kapitalisme.
Sejalan dengan pandangan di atas kita melihat akuntansi sebagai anak dari budaya di mana akuntansi itu berada, dengan kata lain akuntansi sebagai suatu ilmu maupun prakteknya dibentuk melalui interaksi sosial yang sangat kompleks (lihat Morgan 1988, Hines 1989 dan Francis 1993). Jika lingkungan yang membentuk akuntansi tersebut adalah lingkungan kapitalisme, maka perkembangan akuntansi sebagai ilmu dan prakteknya akan bernafaskan kapitalisme juga. Beberapa bukti dalam dasawarsa terakhir telah menunjukkan bahwa praktek akuntansi selama ini kental dengan kapitalisme. Akuntansi dalam praktek bisnis modern sangat identik dengan angka-angka. Tanpa angka adalah sesuatu hal yang sangat mustahil bagi akuntansi dan implikasinya adalah bahwa tanpa akuntansi kita tidak dapat menggambarkan kedaaan entitas bisnis, sebagaimana dikemukakan oleh Hines di bawah ini :
Akan jadi apa ”posisi keuangan” atau ”kinerja” atau ”ukuran” sebuah perusahaan tanpa akuntansi keuangan ? tanpa konsep ”aktiva”, kewajiban, ”modal”, dan ”laba” (yang semuanya diterjemahkan dalam bentuk angka) pertanyaan-pertanyaan tentang kesehatan kinerja, dan ukuran perusahaan akan sulit dijawab (1986 ; 61).
Imbas dari pemikiran di atas maka praktek akuntansi yang berlangsung akan berfokus pada ”angka-angka” akuntansi yang akan diciptakan, agar kinerjanya baik maka akuntabilitas dari ”angka” akuntansi yang dibentuk dikesampingkan, praktek-praktek manajemen laba, transfer pricing, taking a bath dalam akuntansi menjadi ”hal yang wajar”, dan skandal akuntansipun makin menjamur. Beberapa fakta seputar skandal akuntansi ini diantaranya :
• perusahaan publik seperti Enron, WorldCom, Xerox, Merck, Tyco Intl, dan sebelumnya Global Crossing, dan yang terakhir Adelthin, mereka semua adalah perusahaan besar di Amerika dan dengan sekejap hancur dikarenakan skandal akuntansi (lihat KOMPAS, Senin, 15 Juli 2002)
• Kasus Asian Agri yang melibatkan akuntan keuangan dimana telah melakukan manipulasi pajak (transfer pricing) sehingga merugikan negara Indonesia (Lihat Tempo interaktif).
• Kasus lanjutan dari ENRON yang mengakibatkan ditutupnya salah satu KAP besar yang termasuk ke dalam Big Five.
• Kasus Bank Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang masing-masing berbeda yang ditemukan oleh BAPEPAM tanggal 30 September 2002. Laporan keuangan yang berbeda tersebut adalah pertama, yang disampaikan kepada publik melalui media masa tanggal 28 Nopember 2002, kedua yang disampaikan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002, dan ketiga yang disampaikan oleh akuntan publik tanggal 6 Januari 2003 (HU Pikiran Rakyat, 18 Maret 2003)
• Kasus di NTT seperti PD flobamor dkk (jangan dijelaskan)
Fenomena di atas memperjelas bahwa praktek akuntansi saat ini kental dengan perilaku-perilaku yang tidak etis dan merugikan pihak lain. Hal ini terjadi dikarenakan perkembangan teori akuntansi beserta perangkat standar dalam lingkungan yang kental dengan budaya kapitalisme mengakibatkan perilaku dari individu-individu di dalamnya menonjolkan perilaku yang kapitalis juga. Namun demikian meskipun akuntansi memang dibentuk oleh lingkungannya, akuntansi dapat pula berbalik mempengaruhi lingkungannya sebagaimana dipertegas oleh Mathews dan Parera (1993; 15) dengan mengatakan : Although the conventional views is that accounting is socially constructed as a result of social, economic and political events, there are alternative approaches vhich suggest that accounting may be socially constructing.
Intinya adalah sangat jelas akuntansi diibaratkan sebagai pedang bermata dua, di satu sisi akuntansi dibentuk oleh lingkungannya (socially constructed) dan disisi lainnya sekaligus dapat membentuk lingkungannya (socially constructing). Hal ini sekaligus memastikan bahwa akuntansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bebas dari nilai (vaue free), tetapi sebaliknya akuntansi adalah disiplin ilmu pengetahuan dan praktek yang sarat dan kental dengan nilai. Berangkat dari permasalahan di atas, tulisan ini mencoba untuk mengupas sejauhmana perkembangan akuntansi sebagai disiplin ilmu dengan lingkungannya (kapitalisme) dan sekaligus mencoba untuk memberikan solusi untuk mengeliminir akuntansi yang “kapitalistik” dengan nilai-nilainya yang kapitalistik pula dengan satu kajian-kajian nilai-nilai etika universal yang sebetulnya harus diterapkan dalam akuntansi dan prakteknya.
BUDAYA KAPITALISME
Definisi Budaya
Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “kaal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “ hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi ulture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam” (Soekanto, 1996:188). Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, lain kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (Soekanto, 1996:189).
Pengaruh Budaya terhadap Praktek Akuntansi
Hofstede (1991) mendefinisikan budaya sebagai “the collective programming of the mind which distinguishes the members of one group or category of people, who share the same social and cultural environment, from another”. Secara umum, budaya termasuk kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi yang berlaku di suatu masyarakat tertentu pada masa tertentu. Agama, pendidikan, norma-norma, adat istiadat dan sejarah merupakan komponen-komponen penting dari budaya suatu masyarakat. Dari sudut pandang kultural , Hofstede (1991) menentukan empat karakteristik budaya, yaitu : symbols, heroes, rituals dan values. Hofstede mengatakan karakteristik yang keempat (values/nilai-nilai) merupakan hal yang paling sulit diubah. Dia mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam kebiasaan institusional di antara masyarakat-masyarakat nasional dapat dijelaskan dengan perbedaan-perbedaan dalam empat dimensi, yaitu : large versus small Power Distance; strong versus weak Uncertainty Avoidance; Individualism versus Collectivism; dan Masculinity versus Femininity. Menurutnya keempat dimensi di atas merefleksikan orientasi budaya dari suatu negara. Pertanyaan yang dapat dikemukakan disini adalah apakah perbedaan budaya ini akan membentuk sistem akuntansi yang beda pula ?
1. Power distance
Dari hasil penelitiannya Hofstede menemukan bahwa power distance masyarakat Timur Tengah (Arab) lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Israel dan Amerika Serikat. Dalam masyarakat yang kesenjangan kekuasaannya tinggi bentuk pemerintahannya cenderung sentralitas, hal ini berpengaruh terhadap praktek akuntansi di negara tersebut dimana bila dikaitkan dengan pajak dan income differentials. Negara-negara yang memiliki income differentials yang besar dikombinasikan dengan sistem pajak yang tidak adil, kesenjangan kekuasaannya cenderung besar. Dengan pemerintahan yang cenderung sentralistis maka sistem akuntansi yang berlaku akan dipengaruhi oleh intervensi pemerintah.
2. Collectivism versus Individualism
Budaya timur tengah ternyata lebih bersifat kolektif dibandingkan dengan budaya Amerika Serikat yang cenderung individual. Di negara-negara timur tengah seperti Arab Saudi, Kuwait dan Suriah cenderung melakukan konsensus secara kolektif dalam pengambilan keputusan, landasan berfikir yang diambil didapat dari Al Quran dan Hadits, prakteknya dalam akuntansi negara-negara timur tengah ini akan dipengaruhi oleh intervensi pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam pemerintahan dalam penyusunan sistem akuntansi.
3. Uncertainty Avoidance
Negara-negara Timur Tengah cenderung memiliki tingkat kepastian yang tinggi, karena mereka berpegag teguh pada keyakinan yang mereka anut. Agama adalah nilai budaya terpenting di Timur Tengah, dengan mayoritasnya penganut agama Islam maka Al Qur’an dijadikan panduan bagi mereka dalam menciptakan aturan-aturan tentang hubungan manusia dengan Allah SWT (hablum minallah) juga mencakup aturan-aturan praktis hubungan antar manusia (hablum minannas) seperti etika, kejujuran, kepailitan, negosiasi bisnis, kontrak, akuntabilitas, dan lain-lain. Jika sebagian besar agama berusaha untuk menciptakan, di pikiran dan hati setiap individu, ekspektasi akan sesuatu yang sudah pasti, Islam dengan Al-Qur’an menekankan fakta bahwa semakin kita yakin sesuatu yang baik akan terjadi, sesuatu yang baik tersebut akan benar-benar terjadi sepanjang kita hanya takut (dalam artian positif) kepada Allah SWT Sang Pencipta, tidak kepada selainNya (Prayudi, 2003). Sehingga penyusunan sistem akuntansi akan penuh dengan intervensi pemerintah.
4. Masculinity versus Femininity
Dimensi terakhir ini terkait erat dengan pembagian gender di masyarakat. Maskulinitas mengindikasikan kecenderungan suatu masyarakat untuk menunjukkan kebanggaan personal melalui prestasi, ketegasan, heroisme, kesuksesan finansial dan material. femininitas mengindikasikan kecenderungan suatu masyarakat terhadap hubungan kekeluargaan, kesederhanaan, kepedulian terhadap yang lemah, dan kesetaraan hidup serta pelestarian lingkungan. Dalam prakteknya akuntansi penuh dengan unsur maskulinitas, Hines (1992) mengindikasikan bahwa praktek akuntansi modern saat ini penuh dengan bias maskulin, perusahaan hanya berorientasi memaksimalkan profit untuk kepentingan shareholders atau untuk kepentingan manajemen itu sendiri dalam mendapatkan bonus, maka manajemen dapat melakukan eksploitasi terhadap orang lain dan lingkungan. Manajemen enggan memberikan gaji yang memadai bagi karyawannya karena memberikan gaji yang memadai berarti akan memperbesar beban upah dan gaji. Tingginya beban jelas akan memperkecil profit. Perilaku-perilaku ini menunjukkan bahwa praktek akuntansi saat ini kental dengan maskulinitas.
Berdasarkan pembagian kelompok menurut Hofstede di atas kita dapat menyimpulkan bahwa selama ini akuntansi tidaklah bebas nilai, dalam prakteknya akuntansi akan selalu dipengaruhi oleh budaya lingkungan sekitarnya.
Budaya Kapitalisme
Dikaitkan dengan perkembangan ekonomi budaya kapitalisme adalah budaya ekonomi yang mengidentikkan manusia sebagai makhluk ekonomi, memikirkan dirinya sendiri dengan tujuan pemenuhan hasrat pribadi dan kemakmuran. Sebetulnya budaya kapitalisme yang terbentuk pada awalnya memiliki tujuan sebagai sarana untuk beragama. Budaya kapitalisme yang religius dalam ilmu ekonomi ini dapat ditelusuri pada pemikiran Saint Thomas Aquinas (1225-1274) Max Weber (1905). Dalam bukunnya “Summa Teologica” Saint Thomas Aquinas Seorang pendeta yang secara sistematis mempresentasikan teologi, moral, sosiologi, dan prinsip ekonomiyang dipengaruhi pendekatan Aristotelian, membahas doktrin ekonomi tentang doktrin pemikiran ekonomi yang menyangkut kepemilikan pribadi, the just price, tentang distributive justice, dan larangan rente (usury) atau improper gains. Dijelaskan lebih lanjut Thomas Aquinas mendukung kepemilikan pribadi dengan dasar pemikiran bahwa hal tersebut sesuai dengan hukum alam menurut alasan kemanusiaan, untuk menfaat kehidupan manusia. Dikatakan pula bahwa private production akibat pengakuan private property memberikan stimulus yang lebih besar untuk aktivitas ekonomi dibandingkan dengan produksi bersama. Meski demikian, tidak lantas menjadi kepemilikan yang tidak terbatas seperti hukum Romawi. Aquinas merefleksikan ide stewarship of wealth. Bahwa yang lain memiliki hak untuk dibagi. Aquinas memperbolehkan pula pengaturan pemerintah untuk barang publik. Kemudian Aquinas mengakui pula pentingnya kegiatan komersial dan tindakan yang realistik dari adanya insentif. Yang dipermasalahkan Aquinas dalam “Summa Teologica” adalah tentang “just price”, dengan pertanyaan, “Whether a man may lawfully sell a thing for more than it is worth?”. Profit, dalam hal ini yang moderat, diperbolehkan jika pedagang mempunyai maksud terhormat, seperti self support, charity, dan public service. Karena Aquinas tidak memberikan spesifikasi nilai suatu barang yang katanya tidak bias ditetapkan secara matematis, maka yang dimaksud dengan “just price” adalah harga berlaku yang terjadi di suatu tempat pada saat tertentu, yang ditentukan oleh perkiraan yang wajar (fair-minded estimate). Selanjutnya Aquinas melarang apa yang disebut improper gains yang dianggap sebagai rente.
Tokoh selanjutnya Max Webber dalam “The protestant Ethics and the Spirit of Capitalism”, mendukung gagasan, semangat, dan mentalitas kapitalisme yang bersumber dari ajaran agama. Manusia ditunjukkan sebagai homo economicus, yaitu konsep yang dari dulu hingga sekarang dalam hal penugasan kehidupan ekonomi adalah sesuai. Bahwa tujuan hidup adalah mendapatkan kemakmuran dan kekayaan yang digunakan untuk tugas melayani Tuhan. Webber menekankan sikap memperhatikan kehidupan dengan berlaku hati-hati, bijaksana, rajin, dan bersungguh-sungguh dalam mengelola bisnis. Segi utama dari kapitalisme modern adalah memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara ketat terhadap pemakaian untuk bermewah-mewah. Prinsip ini mengungkapakan suatu tipe perasaan yang erat hubungannya dengan pemikiran keagamaan. Selanjutnya Weber menunjukkan suatu masyarakat yang sudah diwarnai oleh sifat mental kapitalis akan nampak pada kehidupan yang diarahkan pada alat produksi pribadi, perusahaan, perusahaan bebas, penghematan uang, dan mekanisme persaingan dan rasionalisasi pengelolaan bisnis.
Jauh sebelum kemunculan Thomas Aquinas dan Max Weber, seorang filsuf Islam Ibn Khaldun telah menguraikan dengan detail mengenai aspek-aspek kapitalisme yang religius. Karyanya yang monumental, “Muqaddimah”, atau “The prologema” atau “The Introduction” dikerjakan selama empat tahun (1375-1379) menggambarkan dengan jelas mengenai pemikiran-pemikirannya. Lingkup pemikirannya meliputi teori nilai, hukum supply dan demand, produksi, distribusi dan konsumsi kekayaan, uang dan modal, division of labor, capital formation dan pertumbuhan ekonomi, perdagangan internasional, public finance, dan tanggung jawab ekonomi pemerintah. Rekomendasi kebijakannya didasari oleh analisisnya atas apa yang terjadi dengan mendasarkan pada “the dictates of reason as well as ethics”, menunjukkan pertimbangan positif sekaligus normatif. Ibn Khaldun mengakui pentingnya institusi pengaturan dalam hal pembuatan kebijakan, pembuatan keuangan publik dan penjaminan dipenuhinya kebutuhan masyaraka. Berarti tidak untuk intervensi pasar dalam hal penentuan harga yang ditentukan supply dan demand. Karena, “God is the controller of the price”. Dalam hal dorongan atau insentif tindakan, seperti telah disebutkan diatas, tidak diragukan lagi bahwa Ibn Khaldun menekankan baik alasan rasional maupun moral.
Karakteristik Sistem kapitalisme
Bila dikaitkan dengan sistem ekonomi, penggunaan sistem kapitalisme setidaknya akan memunculkan lima karakteristik pokok. Lima karakteristik pokok tersebut menurut Pratama Rahardja (2001), diantaranya :
 Hak Kepemilikan
Sebagian besar hak kepemilikan dalam sistem ekonomi kapitalis adalah hak kepemilikan individu/ swasta.
 Profit/ Keuntungan
Dalam masyarakat kapitalsi profit menjadian tujuan utama untuk mencapai kemakmuran atau secara kasarnya adalah untuk memuaskan nafsu si pemiliki modal.
 Konsumerisme
Istilah ini identik dengan hedonisme, yaitu falsafah hidup yang mengajarkan untuk mencapai kepuasan sebesar-besarnya selama hidup di dunia ini.
 Kompetisi
Semangat ini telah muncul sejak jaman pemikiran Adam Smith dan J.B Say. Melalui konsep ini individu/ kelompok/ organisasi dituntut untuk selalu efisiensi agar dapat berkompetisi dengan yang lainnya.
 Harga; Konsep harga ini diidentikkan dengan kelangkaan.
Bila kita bandingkan dengan ideologi lainnya seperti sosialis/ komunis dan lainnya terdapat beberapa perbedaan yang mendasar. Sebagai contoh budaya kapitalisme sekuler mengakui eksistensi Pencipta dan hari akhir, tetapi menafikkan perannya di dunia nyata sehingga manusia tidak wajib terikat dengan hukum-hukum Pencipta, kecuali dengan hukum-hukum buatan manusia, sedangkan budaya berideologikan sosialis komunis ala Karl Marx memandang kehidupan ini hanya materi belaka yang bersifat kekal, kehidupan ini hanyalah materi yang berevolusi (dialektika materialistik). Dalam konteks peran negara, Muh. Romzy (2001) dalam buku Sosialis Religius berpendapat bahwa budaya kapitalisme memandang negara sebagai wahana untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh parlemen atau lembaga legislatif, berbeda dengan sosialisme komunis, bagi ideologi ini negara adalah proses dari evolusi materialisme, negara adalah wahana temporer untuk menuju masyarakat tanpa negara dan tanpa kelas. Selanjutnya untuk sistem ekonomi kapitalisme dengan konsekuensinya yang memandang individu sebagai makhluk yang bebas, maka kepemilikan barang oleh individu menjadi hal yang wajar apakah itu barang tambang, hasil hutan dan kekayaan alam lainnya. Sehingga memunculkan fenomena monopoli dan kesenjangan ekonomi yang besar. Dalam budaya sosialis komunis konsep kepemilikan dihapuskan, sebab hanya negara saja yang berhak memiliki dan mengelola semua barang-barang komoditi atau uang yang ada.
Menurut Zainal Abidin (2001), dalam masyarakat kapitalis kelas pemilik modal menentukan jenis dan jumlah produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan demikian kelas pemilik modal pula yang menentukan eksistensi kaum buruh (proletar), karena dengan dikuasainya alat-alat produksi, maka kaum buruh secara ekonomis, politis dan bahkan kultural menjadi sangat tergantung pada kaum pemilik modal (borjuis). Berbeda dengan kapitalisme, marxisme/ komunisme menghendaki kepemilikan bersama atas alat-alat produksi, hal ini dapat mencegah terjadinya penindasan, ketidakadilan, alienansi dan dehumanisasi, khususnya pada kelas buruh.
Sangat tampak sekali bahwa karakteristik yang muncul dalam sistem kapitalisme dan sistem lainnya seperti sosialis komunis lebih condong pada materialisme, sehingga tujuan awal dari falsafah kapitalisme mengalami pergeseran. Pergeseran konsep kapitalisme terjadi ketika masa renaissance muncul di Eropa, beberapa ahli ekonomi mulai memisahkan ilmu pengetahuan dengan agama, sehingga muncul doktrin yang sangat terkenal hingga sekarang bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang harus bebas nilai. Dalam perkembangannya ilmu ekonomi harus bebas dengan nilai-nilai yang ada (agama, budaya, lingkungan dll), ilmu ekonomi menjadi satu kajian yang diukur dengan nilai rasionalitas, objektivitas dan ilmiah, di sisi lain budaya kapitalisme mengalami kemajuan yang pesat ditandai dengan peristiwa revolusi industri hingga kemajuan teknologi yang dijadikan alat pendukung untuk memperkuat kapitalisme itu sendiri, dan yang lebih penting lagi adalah makna etis menjadi hal yang bias dalam praktek ekonomi kapitalis.
Dampak Sistem Kapitalisme
Arief Budiman (1991) mengemukakan bahwa salah satu dampak budaya kapitalisme global adalah diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Produksi akan macet kalau manusia merasa sudah cukup dan tidak mau berkonsumsi lagi. Akibatnya, melalui iklan dan berbagai bentuk promosi lainnya manusia dibentuk menjadi berperilaku konsumeristis. Sikap serakah, materialistis, dan konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja sekeras-kerasnya, demi memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan. Kekayaan menjadi simbol status dalam sistem kapitalis. Ukuran tidak lagi pada kualitas manusianya, melainkan pada jumlah atau kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran tak lagi menjadi ukuran keluhuran perilaku. Sisi lain dari pengembangan sistem kapitalis adalah ditimbulkannya semangat individualistis, baik dalam berkonsumsi maupun berproduksi. Kolektivitas dan solidaritas dianggap tidak rasional. Kemampuan berkompetisi untuk meraih yang terbanyak, tertinggi, lalu berkonsumsi dalam jumlah banyak untuk meraih simbol status adalah tuntutan untuk bisa masuk dan bertahan dalam kehidupan sistem kapitalis. Akhirnya kapitalisme bukan lagi sekadar sistem perekonomian belaka, tetapi sudah mencampuri nilai-nilai kehidupan dan menentukan arah tujuan hidup. Dampak kapitalisme lainnya secara lebih luas menurut Prathama Rahardja (2001) diantaranya bahwa kapitalisme dapat memunculkan :
1. Persaingan bebas (free competition). Hal ini menyebabkan memburuknya distribusi pendapatan di masyarakat, sehingga orang kaya akan semakin kaya dan sebaliknya orang miskin akan makin miskin
2. Dalam kenyataanya ada saling mengorbankan antara ujuan efisiensi dengan keadilan. Masyarakat kapitalis sangat mengagungkan efisiensi, sehingga tidak ada larangan bagi pengusaha untuk meningkatkan efisiensinya, termasuk terus-menerus mengurangi tenaga kerja dan menggantinya dengan peningkatan teknologi.
3. Prinsip mekanisme pasar dengan ”invisible hand”nya dapat menciptakan imperialisme baru dalam bentuk perluasan kekuasaan ekonomi (merger, akuisisi dll).
Lebih tajam lagi Benjamin R Barber (2003) dalam bukunya Jihad Vs Mc World menyoroti sepak terjang kapitalisme dengan nada sinis sebagai ”ideologi yang paling menarik dan diminati suatu bangsa”, selanjutnya Benjamin menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar menjadi ”pelaku utama” dalam masalah-masalah global dan perannya lebih besar daripada sebuah negara. Perusahaan ini bukan hanya disebut sebagai perusahaan multinasional tapi telah menjadi tansnasional atau pascanasional bahkan menuju antinasional, karena melalui konsep globalisasi mereka menarik kembali gagasan tentang bangsa dan parokialisme lain yang membatasi mereka dalam ruang dan waktu
Lebih tajam lagi Zainal Abidin (2002) menyoroti dampak kapitalime dan filsafat positivisme secara umum bahwa jika tolak ukur pembangunan adalah kemajuan di bidang fisik material maka sasaran atau orientasi hidup manusia ditujukan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kekayaan material, konsekuensi etis dari hal ini adalah masalah etika dan moral menjadi marginal, tujuan hidup manusia bukan lagi kebahagiaan dan kenikmatan kerja melainkan pada perolehan sebanyak-banyaknya hasil dalam waktu yang singkat, selanjutnya harga diri dan martabat seseorang atau suatu bangsa ditentukan oleh seberapa besar akses dan kontribusi ekonomi dan industri yang dimiliki oleh orang atau bangsa itu. Semakin besar akses dan kontribusi ekonomis dan politis seseorang atau suatu bangsa, semakin besar pula harga diri dan martabat orang atau bangsa itu. Kualitas dan kemanusian hanya merupakan nilai yang bersifat periafeal. Padahal jika merujuk pada pendapat dari Mahatma Gandhi ”dunia bisa memenuhi kebutuhan hidup umat manusia, tetapi tidak bisa memenuhi keserakahan manusia” Sangat jelas sekali bahawa budaya kapitalise membawa manusia pada hidup yang bersifat serakah untuk pemuasan nafsu yang tak terbataskan.
AKUNTANSI DALAM PRAKTEKNYA
Akuntansi dalam Perangkap Kapitalisme
Seperti yang diungkap oleh Tricker (1978) akuntansi adalah anak dari budaya masyarakat dimana akuntansi dipraktekkan. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai masyarakat memiliki peranan yang penting dalam mempengaruhi bentuk akuntansi. Akuntansi modern yang berkembang saat ini banyak menyerap dan dikembangkan oleh masyarakat yang kental dengan nilai leberalisme dan kapitalisme yang tinggi. Dalam masyarakat yang kapitalis hak milik mutlak berada pada seorang individu, dengan konsep ini sebuah badan usaha didirikan, dimiliki oleh, dan digunakan untuk pemilik yang memiliki modal (kapitalis). Kedudukan yang tinggi bagi seorang kapitalis ini akhirnya membentuk akuntansi yang memihak pada kepentinggan kapitalis. Bahkan para praktisi akuntansi ikut terpengaruh dengan memanipulasi angka-angka laba hanya untuk memuaskan kepentingan kapitalsi (ENRON, LIPPO). Menurut Triyuwono (2006) secara implisit kedudukan kapitalis yang sentral ini telah mengakibatkan : (1) bentuk akuntansi menjadi egois, (2) bias materi), (3) tidak memperhatikan eksternalitas, (4) bias maskulin dan (5) berorientasi pada informasi berbasis angka.
1. Nilai egoisme dalam Akuntansi
Egoisme dalam akuntansi identik dengan konsep akuntansi ekuitas yaitu entity theory. Menurut pandangan teori ini, perusahaan akan eksis bila ia mampu menciptakan income. Dan income ini semata-mata diperuntukkan pada pemegang saham.
2. Nilai Materialisme Akuntansi Modern
Nilai materialitas yang terkandung dalam akuntansi identik dengan konsep utilitas yang dianutnya. Dalam prakteknya jika suatu perbuatan menghasilkan utilitas, maka perbuatan tadi dikatakan etis, dan utilitas yang diamksudkan disini adalah utilitas dalam pengertian materi dengan konsep dasarnya untuk meraih pleasure dan happiness.
3. Orientasi Internalitas Akuntansi Modern
Praktek akuntansi modern cenderung tidak bertanggung jawab terhadap unsur eksternal yang terjadai akibat aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan, dan sebaiknya yang menanggung adalah masyarakat secara keseluruhan.
4. Orientasi Angka-angka Akuntansi modern
Seperti yang diutarakan oleh Hines (1989) bahwa tanpa angka-angka akuntansi keadaan perusahaan tidak dapat tergambarkan. Orientasi pda angka-angka akuntansi ini menjadikan realitas bisnis oleh akuntansi modern berpusat pada angka yang akan dibentuk, dampaknya informasi yang dimunculkan menjadi sangat parsial karena tereduksi oleh bentuk angka-angka yang diinginkan.

Budaya Kapitalisme dalam Kepemilikan Perusahaan
Dalam ilmu akuntansi, teori kepemilikan yang sering digunakan adalah Entity Theory. Ide utama teori ini adalah memahami perusahaan sebagai entitas yang terpisah dari pemiliknya. Terdapat dua pandangan yang berbeda dalam konteks Entity Theory. Versi pertama adalah versi tradisional yang memandang bahwa perusahaan beroperasi untuk keuntungan pemegang saham, yaitu orang-orang yang menanamkan dananya dalam perusahaan. Dengan demikian akuntansi akan diperlakukan sebagai laporan kepada pemegang saham tentang status dan konsekuensi dari investasi mereka. Versi kedua adalah anggapan bahwa sebuah entitas adalah bisnis untuk dirinya sendiri yang berkepentingan. Hal ini menyebabkan laporan akuntansi diberikan kepada pemegang saham hanya dalam rangka memenuhi persyaratan legal dan untuk mengelola hubungan baik dengan mereka dalam konteks bahwa sejumlah dana tambahan mungkin dibutuhkan dimasa depan. Dalam prakteknya teori ini mengakibatkan manajemen mengemban tugas untuk memperoleh dan mengakumulasi kekayaan yang tanpa batas, entitas bisnis memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan pendapatan dan kekayaannya sendiri, dengan orientasi untuk kesejahteraan pemilik perusahaan. Entitas bisnis akan berperan sebagai agen pemilik perusahaan dengan orientasi kerja perolehan kekayaan secara tak terbatas baik untuk kesejahteraan pemilik juga untuk survivalitas dan perkembangannya sendiri. Bahkan yang lebih mengerikan lagi adalah entitas bisnis ini akan dijadikan sebgai mesin perang mengeruk kekayaan dan pertimbangan etis dikesampingkan. Karena ia hanya alat makan perilakunya ini tidak dapat disalahkan. Selain itu dalam prakteknya Entity Theory ini memiliki kemampuan untuk merasionalisasikan, menormalisasi dan melegitimasi berbagai macam instrumen yang digunakan untuk mengendalikan buruh yang seolah-olah kaum buruh memperoleh banyak manfaat dari sistem yang sebenarnya sangat eksploitaif (Triyuwono; 2006).
Budaya Kapitalisme dalam Laporan Keuangan Perusahaan
Pengaruh budaya kapitalsiem juga terlihat pada formula dari tujuan laporan keuangan yang didefinisikan oleh accounting body di Amerika Serikat, seperti terlihat di bawah ini : The basic objective of financial statement is to provide information useful for making economic decision (Mathews and Parera ; 1993). Tujuan dasar dari laporan keuangan seperti yang diungkapkan di atas secara implisit merefleksikan kepentingan investor (stockholder) atas manfaat ekonomis dari apa yang telah diinvestasikan. Untuk itu, pihak investor akan membutuhkan informasi akuntansi untuk pengambilan keputusan. Jadi laporan keuangan merupakan instrumen yang digunakan untuk memberikan informasi tentang kinerja dari manajemen. Sehingga kita akan melihat bahwa formula laporan keuangan ini sesungguhnya tidaklah benar-benar netral, formula ini cenderung memiliki bias nilai, yaitu mementingkan kepentingan pemilik modal. Kepentingan dari pemilik modal itu sendiri adalah mempertahankan modal yang ditanam (capital maintenance) sekaligus mendapatkan laba yang maksimal. Berdasarkan hal ini maka yang paling krusial terjadi adalah akuntansi akan menjadi kendaraan yang dikuasai oleh pemilik modal (kapitalis) di mana kekuasaan tunggal berada di tangannya. Dan eksploitasi ini dilakukan terhadap pihak-pihak lain serta alam.
Simbiosis Mutualisme Kapitalisme dan Teori Akuntansi
Tanpa disadari ternyata perilaku yang terjadi dalam realitas sosial dan praktek bisnis yang serba kapitalis maka tepri yang membentuk ilmu akuntansi itu sendiri dirasuki atau terkontaminasi karakteristik kapitalisme yang kuat. Dengan kata lain telah terjadi hubungan yang saling menguntungkan (sismbiosis mutualisme) antara para kapitalis dengan ilmu akuntansi. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Bailey (1988) memberikan gambaran jelas tentang bentuk dan peraturan akuntansi akuntansi dinegara-nagara sosialis. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa akuntansi yang dipraktekkan di negara-negara tersebut sarat dengan nilai-nilai sosialis. Sedangkan karya Watts dan Zimmerman (1986) dalam bukunya yang terkenal dan dijadikan rujukan bagi teori akuntansi modern Positive Accounting Theory, memberikan gambaran yang jelas tentang sistem ekonomi kapitalsi yang mempunyai pengaruh kuat dalam membentuk praktik-praktik akuntansi khususnya dinegara-negara yang menggunakan sistem ini. Dari kedua penelitian di ata dapat dilihat bahwa faktor sistem politik (ideologi) dan ekonomi adalah faktor-faktor penentu yang memiliki andil besar dalam membentuk akuntansi. Karena saat ini yang menjadi magnet adalah ideologi kapitalisme, maka menjadi hal yang wajar bahwa teori akuntansi modern yang dikembangkan oleh Watts dan Zimmerman yaitu Positive Accounting Theory (PAT) kental dengan ideologi kapitalisme dan menjadi magnet rujukan perkembangan ilmu akuntansi.
Dalam prakteknya kita dapat melihat bahawa akuntansi positif merupakan anak dari sistem ekonomi kapitalis. Ciri maksimalisasi laba dan akumulasi kapital merupakan identitas utama yang tidak dapat dipisahkan dari akuntansi positif. Perkembangan ilmu positif produk dari modernisme ini banyak menekankan pada aspek praksis dan fungsi, melecehkan aspek nilai (etika) dengan beranjak pada asumsi ilmu pengetahuan positif harus netral dan bebas dari nilai (value free). Kekuatan modernisme yang semakin besar menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan positif semakin kuat, dengan kekuatan hegemoni ini maka ilmu-ilmu yang tidak sesuai dengan metode (prosedur) ilmiah yang telah diformat oleh ilmu positif diklaim sebagai ilmu yang tidak ilmiah, tidak sahih dan tidak layak untuk hidup, dikembangkan apalagi dipraktekkan.
Angin segar yang dihembuskan oleh modernisme membawa Postive Accounting Theory berkembang menjadi paradigma baku dalam ilmu akuntansi, hal ini sekaligus memberikan keuntungan kepada kapitalisme untuk tetap menancapkan kekuasaanya dalam sendi-sendi kehidupan manusia diantaranya dalam praktek bisnis. Sehingga dalam praktek akuntansi, kita akan melihat bahwa akuntansi positif yang berkembang saat ini merupakan anak dari sistem kapitalistik. Ciri maksimalisasi laba dan akumulasi kapital merupakan identitas utama yang tidak dapat dipisahkan dari akuntansi. Maksimalisasi laba misalnya, akan terlihat di akhir laporan Rugi Laba akan terlihat akun Laba Bersih. Akun ini merupakan tujuan utama manajemen perusahaan yang juga menjadi kepentingan bagi pemilik perusahaan (shareholders), investor dan kreditor. Semakin tinggi angka akuntansi yang diciptakan dalam akun Laba Bersih ini, maka semakin baik kinerja dari peruasahaan yang bersangkutan. Sedangkan ciri budaya kapitalis lainnya dalam akumulasi kapital akan tampak pada Laporan Neraca dengan akun Laba yang Ditahan yang merupakan bagian dari Ekuitas. Atau dilaporkan juga secara khusus dalam Laporan Laba yang Ditahan. Semakin besar komposisi ekuitas ini terhadap nilai hutang, maka semakin aman investasi yang ditanamkan oleh investor.
Analisis-analisis keuangan dalam akuntansipun dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau yang terkait dengan perusahaan. Kita bisa melihat bahwa alat-alat analisis ini sebetulnya tidak terlepas dari hegemoni kapitalisme, dengan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi pada angka-angka akuntansi, akhirnya nilai yang dibuat dalam angka akuntansi tersebut menjadi angka-angka yang “sakral” yang dianggap dapat membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi pihak-pihak yang berkepentingan melalui pengambilan keputusan ekonomi. Dan sebagai penyedia informasi akuntansi juga dapat digunakan sebagai misalnya, alat untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi, alat untuk menurunkan agency cost, meningkatkan produktivitas karyawan dan sebagainya.
PERLUNYA ETIKA
Kapitalisme masih terus bertahan. Secara berani Francis Fukuyama menyatakan bahwa kapitalisme adalah the end of history, hal ini dikarenakan setiap negara mengadopsi dan berusaha sistem ekonomi yang market oriented dan terintegrasi menuju kapitalisme global, alasannya jelas, meningkatnya kompleksitas dan intensitas informasi kehidupan modern pada saat yang bersamaan membuat centralized planning-economy menjadi sangat-sangat sulit, kalau tidak mau dikatakan tidak memungkinkan. tersebut. Sistem kapitalisme pasca perang dunia kedua juga telah menjadi natural stopping point, yang mendorong banyak negara agraris dan industri untuk mengejar ketertinggalannya dari Amerika. Alasan selanjutnya dalah kegagalan yang dialami komunisme. Sepertiga masyarakat dunia yang menggunakan ekonomi komunis telah memutuskan untuk bergabung dengan sistem kapitalisme. Kapitalismepun untuk mempertahankan eksistensinya melakukan perubahan-perubahan, Kata LesterThurow, “It’s still going to be capitalism, but it’s going to be a very different capitalism. In oher words, we know the forces that are going to determine the future of capitalism. But we don’t know is the exact shape of the future, because that’s not determined by stars; it’s determined by what we do”. (Rethinking the future, hal 237).
Pernyataan Thurow ini merujuk pada lima kekuatan. Pertama, berakhirnya komunisme. Kedua, pergeseran dari industri yang natural resource-based ke industri yang manmade brainpower atau yang knowledge-based. Ketiga, faktor demografis; tumbuhnya populasi dunia yang sekaligus makin tua. Keempat, sampainya masa genuinely global economy. Terakhir, hilangnya dunia yang unipolar, tidak ada lagi kekuatan ekonomi dan politik yang dominan. Gesekan-gesekan kekuatan ini menimbulkan perubahan lingkungan industri, edologis, teknologis, sosiologis, psikologis, ekologis, dan seterusnya. Dalam hal ini, teknologi dan ideologi ditunjuk sebagai kekuatan utama yang besar. Disebutkan lebih lanjut oleh Lester Thurow dalam “The Future of Capitalism”, mengatakan bahwa kapitalisme masih akan berlanjut meskipun mengalami beberapa perubahan. Ia memajukan eksperimen sosial dengan menciptakan prinsip, norma, dan aturan-aturan sosial baru yang sesuai dengan perkembangan ekonomi. Sehingga, semakin berkembang ekonomi dan teknologi, semakin berkembang pula komponen normatif masyarakatnya.
Salah satu langkah dalam mengeliminir dampak negatif dari kapitalisme adalah dengan mengembalikan kapitalisme ini kewujudnya yang semula, yaitu sebagai sarana untuk mengabdi kepada Tuhan (Ibn Khaldun, Thomas Aquinas), sehingga perilaku kapitalisme akan dikontrol oleh standar etis yang membatasi aktivitas gerak individu. Keterlibatan etika dalam bentuk norma, nilai dan moral haruslah diharmoniskan dalam diri manusia ketika berinteraksi dengan sesama dan sekitarnya. Francis (1990) mengklaim bahwa akuntansi adalah sebuah praktek moral. Hal ini dikarenakan akuntan dapat mengubah dunia dan mempengaruhi pengalaman hidup orang lain dengan cara yang menyebabkan pengalaman hidup seseorang menjadi berbeda dengan tidak adanya akuntansi atau adanya bentuk alternatif akuntansi dalam hal ini adalah informasi akuntansi itu sendiri. Selanjutnya Jere Francis (1990) mengemukakan nilai etika yang dapat direalisasikan melalui praktik akuntansi yaitu : kejujuran (honesty), perhatian terhadap status ekonomi orang lain (concern for the economic status of others), sensitivitas terhadap nilai kerja sama dan konflik (sensitivity to the value of co-operation and conflict), karakter komunikatif akuntansi (communicative character of accounting) dan penyebaran informasi ekonomi (dissemination of economic information).
Beberapa pendapat di atas menandakan fenomena yang menunjukkan semakin meningkatnya perhatian akan pentingnya penerapan etika dalam akuntansi khususnya dan dunia bisnis pada umumnya, hal ini dikarenakan begitu gencarnya praktek kapitalisme melanda dunia bisnis. Kecenderungan yang besar untuk selalu mengakumulasi laba mempengaruhi perilaku para pelaku bisnis sehingga muncullah praktek-praktek seperti monopoli, eksploitasi karyawan atau buruh, kesewenangan dalam mengeksploitasi alam dll. Seperti yang dikemukakan oleh Sonny Keraf (1991) dibawah ini :
Namun yang masih sangat memprihatinkan adalah bahwa bisnis hampir tidak pernah atau belum dianggap sebagai suatu profesi yang luhur. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang menganggap bahwa bisnis adalah suatu pekerjaan yang kotor dan dicemoohkan. Itulah sebabnya bisnis selalu mendapat konotasi yang jelek…Kesan dan sikap masyarakat seperti itu sebenarnya disebabkan oleh ulah orang-orang bisnis itu sendiri, atau lebih tepat ulah beberapa ’orang bisnis’ yang memperlihatkan citra yang begitu negatif
Agama merupakan sumber yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam etika bisnis, karena agama memudahkan manusia untuk mengetahui atau membedakan yang baik dan yang buruk atau yang benar dan yang salah dalam berbisnis. Mengapa agama dijadikan sumber nilai ? karena hanya Tuhanlah yang memiliki otoritas tertinggi dalam menetapkan nilai-nilai yang baik dan yang benar. Menurut Chryssides dan Kaler (1993) :
jika Tuhan itu ada, lalu siapa yang lebih baik dari Tuhan itu sendiri memutuskan apa yang benar dan apa yang salah ? Jika Tuhan itu Maha Mengetahui, maka pasti Dialah pemegang otoritas yang terpercaya atas para ahli etika ….
Oleh karena itu masyarakat yang percaya akan adanya Tuhan akan membangun nilai-nilai etikanya berdasarkan pada ajaran agama masing-masing, sehingga dalam praktek bisnis mereka akan selalu diselimuti dengan nilai etika yang kuat, setidaknya dalam berperilaku, seorang kapitalis akan menampilkan sosok kapitalis yang religius. Pelaksanaan etika yang berdasar pada agama akan memberikan suatu konsep yang menyatakan bahwa pelaku tindakan (individu/ kelompok) yang baik dan benar menurut etika agama akan mendapatkan pahala atas yang telah diperbuatnya, dan jika melanggar mereka akan berdosa atas perbuatannya. Esensi yang lebih tinggi yang dapat diambil dalam menyandarkan etika pada agama adalah adanya kesadaran dalam diri individu/kelompok dalam melakukan tindakan (kegiatan bisnis) seolah-olah telah melihat Allah, atau sebaliknya bahwa individu/ kelompok sadar bahwa Allah selalu melihat apa yang mereka perbuat. Kesadaran seperti ini membuat para pelaku bisnis meyakini bahwa dalam hidup ini tidak ada jalan menghindar dari Tuhan dan pengawasan-Nya terhadap tingkah laku mereka.
Akhirnya… Masa depan tidak dapat diketahui pasti, walaupun paling tidak kita dapat melihat tanda-tandanya. Seperti kata Aristoteles, kita dapat mengubah masa depan karena kita tidak mengetahuinya: kalau masa depan sudah diketahui, maka kita tidak dapat mengubahnya. Masa depan tergantung dari apa yang kita lakukan saat ini, dan semuanya dapat berharap bahwa kita dapat menjumpai hari esok yang lebih baik.
Sebagaimana ilmu ekonomi mengajarkan, manusia senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan. Demikian juga dengan sistem ekonomi yang dipakai dalam praktek bisnis sekarang merupakan bagian dalam pembentukan hari depan yang lebih baik. Kita berurusan dengan persoalan besar, yang sangat menentukan kinerja perekonomian yang lebih baik. Sebagaimana disebut didepan, pilihannya ada dua, menjalankan yang sudah ada atau menawarkan alternatif baru. Alternatif baru ini, biasa sama sekali baru, atau membuat yang sudah ada dengan beberapa penyesuaian-penyesuaian yang – kalau memang perlu – sifatnya fundamental.
Yang dipaparkan disini adalah sebuah realitas sosial yang terbangun dengan pondasi yang kuat berupa kapitalisme yang telah membelenggu praktek akuntansi dan perkembangan ilmu akuntansi itu sendiri. Konsep kapitalisme yang awalnya menitik beratkan kepada perwujudan ibadah kepada Tuhan telah dikesampingkan menjadi pemuasan individu yang berlebihan, sehingga perilaku-perilaku negatif dalam bisnis menjadi hal yang diwajarkan. Perkembangan teori dan praktek akuntansi disini dipaparkan dengan maksud memberikan gambaran bahwa telah terjadi praktek simbiosis mutualisme antara akuntansi dengan budaya kapitalisme itu sendiri, bila hal ini dibiarkan maka pendapat Francis Fukuyama bahwa kapitalisme sebagai the end of history menjadi kenyataan. Mitos bahwa ilmu pengetahuan (akuntansi) adalah ilmu yang bebas nilai mesti kita rubah, justru akuntansi dan praktek di dalamnya sangatlah sarat dengan nilai. Jika hari ini nilai yang menyelimuti akuntansi adalah nilai-nilai kapitalisme, maka perubahan mesti dilakukan.
Perlunya nilai-nilai etika melandasi praktek akuntansi dan bisnis pada umumnya menjadi satu keharusan, dan tugas ini berada dalam tampuk kita sebagai pelaku dan pengembang dari akuntansi itu sendiri. Jangan sampai kita berada dalam posisi yang netral, atau meminjam istilah Baudrillard berada dalam posisi le strategy de fatale yang penuh dengan paradoks, tidak menerima, tidak menolak, tidak mengkritik, tidak menyanjung situasi yang ada dan bersikap peduli amat !
Kalau masih ada semangat, seperti kata Muhammad Iqbal, “mendatangkan kehidupan dari dunia sendiri, menyalakan api yang tersembunyi dalam dunia sendiri” kalau dunia yang sekarang tidak sesuai dengan keinginan kita. Entah mana yang first best choice, mana pula yang second best choice……..