Rabu, 08 Desember 2010

PRAKTEK AKUNTANSI DALAM BUDAYA KAPITALISME
DANIEL TONU

ALUMNI UNIVERSITAS PGRI NTT

Dalam perkembangannya ilmu pengetahuan dan kapitalisme selalu berinteraksi secara aktif melalui gerak dialektika yang tidak dapat dihindarkan, gerak ini memunculkan pula perkembangan teori ilmu pengetahuan yang sejalan dengan kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme secara pasti telah melahirkan teknologi yang membawa perubahan radikal dunia modern. Ilmu pengetahuan, teknologi dan kapitalisme akhirnya menjadi tiga pilar yang saling berperan dalam membentuk jaringan rasionalitas instrumental, rasionalitas efisiensi, birokrasi dan kalkulasi cost/benefit untuk memerdekakan dan mencerahkan manusia sesuai dengan cita-cita pencerahan (Budiman 1997 ; 73). Akuntansi sebagai salah satu ilmu sosial juga merupakan ilmu pengetahuan dan prakteknya yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme. Jaringan kerja dan relasi-relasi yang dibentuk kapitalisme telah mengubah perilaku dalam praktek akuntansi serta turut dalam mewarnai teori akuntansi yang disebut-sebut sebagai instrumen penting dalam dunia bisnis (the language of business). Akuntansi dalam lingkungan kapitalisme menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau ikut tergilas dalam derasnya arus kapitalisme.
Sejalan dengan pandangan di atas kita melihat akuntansi sebagai anak dari budaya di mana akuntansi itu berada, dengan kata lain akuntansi sebagai suatu ilmu maupun prakteknya dibentuk melalui interaksi sosial yang sangat kompleks (lihat Morgan 1988, Hines 1989 dan Francis 1993). Jika lingkungan yang membentuk akuntansi tersebut adalah lingkungan kapitalisme, maka perkembangan akuntansi sebagai ilmu dan prakteknya akan bernafaskan kapitalisme juga. Beberapa bukti dalam dasawarsa terakhir telah menunjukkan bahwa praktek akuntansi selama ini kental dengan kapitalisme. Akuntansi dalam praktek bisnis modern sangat identik dengan angka-angka. Tanpa angka adalah sesuatu hal yang sangat mustahil bagi akuntansi dan implikasinya adalah bahwa tanpa akuntansi kita tidak dapat menggambarkan kedaaan entitas bisnis, sebagaimana dikemukakan oleh Hines di bawah ini :
Akan jadi apa ”posisi keuangan” atau ”kinerja” atau ”ukuran” sebuah perusahaan tanpa akuntansi keuangan ? tanpa konsep ”aktiva”, kewajiban, ”modal”, dan ”laba” (yang semuanya diterjemahkan dalam bentuk angka) pertanyaan-pertanyaan tentang kesehatan kinerja, dan ukuran perusahaan akan sulit dijawab (1986 ; 61).
Imbas dari pemikiran di atas maka praktek akuntansi yang berlangsung akan berfokus pada ”angka-angka” akuntansi yang akan diciptakan, agar kinerjanya baik maka akuntabilitas dari ”angka” akuntansi yang dibentuk dikesampingkan, praktek-praktek manajemen laba, transfer pricing, taking a bath dalam akuntansi menjadi ”hal yang wajar”, dan skandal akuntansipun makin menjamur. Beberapa fakta seputar skandal akuntansi ini diantaranya :
• perusahaan publik seperti Enron, WorldCom, Xerox, Merck, Tyco Intl, dan sebelumnya Global Crossing, dan yang terakhir Adelthin, mereka semua adalah perusahaan besar di Amerika dan dengan sekejap hancur dikarenakan skandal akuntansi (lihat KOMPAS, Senin, 15 Juli 2002)
• Kasus Asian Agri yang melibatkan akuntan keuangan dimana telah melakukan manipulasi pajak (transfer pricing) sehingga merugikan negara Indonesia (Lihat Tempo interaktif).
• Kasus lanjutan dari ENRON yang mengakibatkan ditutupnya salah satu KAP besar yang termasuk ke dalam Big Five.
• Kasus Bank Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang masing-masing berbeda yang ditemukan oleh BAPEPAM tanggal 30 September 2002. Laporan keuangan yang berbeda tersebut adalah pertama, yang disampaikan kepada publik melalui media masa tanggal 28 Nopember 2002, kedua yang disampaikan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002, dan ketiga yang disampaikan oleh akuntan publik tanggal 6 Januari 2003 (HU Pikiran Rakyat, 18 Maret 2003)
• Kasus di NTT seperti PD flobamor dkk (jangan dijelaskan)
Fenomena di atas memperjelas bahwa praktek akuntansi saat ini kental dengan perilaku-perilaku yang tidak etis dan merugikan pihak lain. Hal ini terjadi dikarenakan perkembangan teori akuntansi beserta perangkat standar dalam lingkungan yang kental dengan budaya kapitalisme mengakibatkan perilaku dari individu-individu di dalamnya menonjolkan perilaku yang kapitalis juga. Namun demikian meskipun akuntansi memang dibentuk oleh lingkungannya, akuntansi dapat pula berbalik mempengaruhi lingkungannya sebagaimana dipertegas oleh Mathews dan Parera (1993; 15) dengan mengatakan : Although the conventional views is that accounting is socially constructed as a result of social, economic and political events, there are alternative approaches vhich suggest that accounting may be socially constructing.
Intinya adalah sangat jelas akuntansi diibaratkan sebagai pedang bermata dua, di satu sisi akuntansi dibentuk oleh lingkungannya (socially constructed) dan disisi lainnya sekaligus dapat membentuk lingkungannya (socially constructing). Hal ini sekaligus memastikan bahwa akuntansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bebas dari nilai (vaue free), tetapi sebaliknya akuntansi adalah disiplin ilmu pengetahuan dan praktek yang sarat dan kental dengan nilai. Berangkat dari permasalahan di atas, tulisan ini mencoba untuk mengupas sejauhmana perkembangan akuntansi sebagai disiplin ilmu dengan lingkungannya (kapitalisme) dan sekaligus mencoba untuk memberikan solusi untuk mengeliminir akuntansi yang “kapitalistik” dengan nilai-nilainya yang kapitalistik pula dengan satu kajian-kajian nilai-nilai etika universal yang sebetulnya harus diterapkan dalam akuntansi dan prakteknya.
BUDAYA KAPITALISME
Definisi Budaya
Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “kaal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “ hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi ulture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam” (Soekanto, 1996:188). Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, lain kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (Soekanto, 1996:189).
Pengaruh Budaya terhadap Praktek Akuntansi
Hofstede (1991) mendefinisikan budaya sebagai “the collective programming of the mind which distinguishes the members of one group or category of people, who share the same social and cultural environment, from another”. Secara umum, budaya termasuk kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi yang berlaku di suatu masyarakat tertentu pada masa tertentu. Agama, pendidikan, norma-norma, adat istiadat dan sejarah merupakan komponen-komponen penting dari budaya suatu masyarakat. Dari sudut pandang kultural , Hofstede (1991) menentukan empat karakteristik budaya, yaitu : symbols, heroes, rituals dan values. Hofstede mengatakan karakteristik yang keempat (values/nilai-nilai) merupakan hal yang paling sulit diubah. Dia mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam kebiasaan institusional di antara masyarakat-masyarakat nasional dapat dijelaskan dengan perbedaan-perbedaan dalam empat dimensi, yaitu : large versus small Power Distance; strong versus weak Uncertainty Avoidance; Individualism versus Collectivism; dan Masculinity versus Femininity. Menurutnya keempat dimensi di atas merefleksikan orientasi budaya dari suatu negara. Pertanyaan yang dapat dikemukakan disini adalah apakah perbedaan budaya ini akan membentuk sistem akuntansi yang beda pula ?
1. Power distance
Dari hasil penelitiannya Hofstede menemukan bahwa power distance masyarakat Timur Tengah (Arab) lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Israel dan Amerika Serikat. Dalam masyarakat yang kesenjangan kekuasaannya tinggi bentuk pemerintahannya cenderung sentralitas, hal ini berpengaruh terhadap praktek akuntansi di negara tersebut dimana bila dikaitkan dengan pajak dan income differentials. Negara-negara yang memiliki income differentials yang besar dikombinasikan dengan sistem pajak yang tidak adil, kesenjangan kekuasaannya cenderung besar. Dengan pemerintahan yang cenderung sentralistis maka sistem akuntansi yang berlaku akan dipengaruhi oleh intervensi pemerintah.
2. Collectivism versus Individualism
Budaya timur tengah ternyata lebih bersifat kolektif dibandingkan dengan budaya Amerika Serikat yang cenderung individual. Di negara-negara timur tengah seperti Arab Saudi, Kuwait dan Suriah cenderung melakukan konsensus secara kolektif dalam pengambilan keputusan, landasan berfikir yang diambil didapat dari Al Quran dan Hadits, prakteknya dalam akuntansi negara-negara timur tengah ini akan dipengaruhi oleh intervensi pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam pemerintahan dalam penyusunan sistem akuntansi.
3. Uncertainty Avoidance
Negara-negara Timur Tengah cenderung memiliki tingkat kepastian yang tinggi, karena mereka berpegag teguh pada keyakinan yang mereka anut. Agama adalah nilai budaya terpenting di Timur Tengah, dengan mayoritasnya penganut agama Islam maka Al Qur’an dijadikan panduan bagi mereka dalam menciptakan aturan-aturan tentang hubungan manusia dengan Allah SWT (hablum minallah) juga mencakup aturan-aturan praktis hubungan antar manusia (hablum minannas) seperti etika, kejujuran, kepailitan, negosiasi bisnis, kontrak, akuntabilitas, dan lain-lain. Jika sebagian besar agama berusaha untuk menciptakan, di pikiran dan hati setiap individu, ekspektasi akan sesuatu yang sudah pasti, Islam dengan Al-Qur’an menekankan fakta bahwa semakin kita yakin sesuatu yang baik akan terjadi, sesuatu yang baik tersebut akan benar-benar terjadi sepanjang kita hanya takut (dalam artian positif) kepada Allah SWT Sang Pencipta, tidak kepada selainNya (Prayudi, 2003). Sehingga penyusunan sistem akuntansi akan penuh dengan intervensi pemerintah.
4. Masculinity versus Femininity
Dimensi terakhir ini terkait erat dengan pembagian gender di masyarakat. Maskulinitas mengindikasikan kecenderungan suatu masyarakat untuk menunjukkan kebanggaan personal melalui prestasi, ketegasan, heroisme, kesuksesan finansial dan material. femininitas mengindikasikan kecenderungan suatu masyarakat terhadap hubungan kekeluargaan, kesederhanaan, kepedulian terhadap yang lemah, dan kesetaraan hidup serta pelestarian lingkungan. Dalam prakteknya akuntansi penuh dengan unsur maskulinitas, Hines (1992) mengindikasikan bahwa praktek akuntansi modern saat ini penuh dengan bias maskulin, perusahaan hanya berorientasi memaksimalkan profit untuk kepentingan shareholders atau untuk kepentingan manajemen itu sendiri dalam mendapatkan bonus, maka manajemen dapat melakukan eksploitasi terhadap orang lain dan lingkungan. Manajemen enggan memberikan gaji yang memadai bagi karyawannya karena memberikan gaji yang memadai berarti akan memperbesar beban upah dan gaji. Tingginya beban jelas akan memperkecil profit. Perilaku-perilaku ini menunjukkan bahwa praktek akuntansi saat ini kental dengan maskulinitas.
Berdasarkan pembagian kelompok menurut Hofstede di atas kita dapat menyimpulkan bahwa selama ini akuntansi tidaklah bebas nilai, dalam prakteknya akuntansi akan selalu dipengaruhi oleh budaya lingkungan sekitarnya.
Budaya Kapitalisme
Dikaitkan dengan perkembangan ekonomi budaya kapitalisme adalah budaya ekonomi yang mengidentikkan manusia sebagai makhluk ekonomi, memikirkan dirinya sendiri dengan tujuan pemenuhan hasrat pribadi dan kemakmuran. Sebetulnya budaya kapitalisme yang terbentuk pada awalnya memiliki tujuan sebagai sarana untuk beragama. Budaya kapitalisme yang religius dalam ilmu ekonomi ini dapat ditelusuri pada pemikiran Saint Thomas Aquinas (1225-1274) Max Weber (1905). Dalam bukunnya “Summa Teologica” Saint Thomas Aquinas Seorang pendeta yang secara sistematis mempresentasikan teologi, moral, sosiologi, dan prinsip ekonomiyang dipengaruhi pendekatan Aristotelian, membahas doktrin ekonomi tentang doktrin pemikiran ekonomi yang menyangkut kepemilikan pribadi, the just price, tentang distributive justice, dan larangan rente (usury) atau improper gains. Dijelaskan lebih lanjut Thomas Aquinas mendukung kepemilikan pribadi dengan dasar pemikiran bahwa hal tersebut sesuai dengan hukum alam menurut alasan kemanusiaan, untuk menfaat kehidupan manusia. Dikatakan pula bahwa private production akibat pengakuan private property memberikan stimulus yang lebih besar untuk aktivitas ekonomi dibandingkan dengan produksi bersama. Meski demikian, tidak lantas menjadi kepemilikan yang tidak terbatas seperti hukum Romawi. Aquinas merefleksikan ide stewarship of wealth. Bahwa yang lain memiliki hak untuk dibagi. Aquinas memperbolehkan pula pengaturan pemerintah untuk barang publik. Kemudian Aquinas mengakui pula pentingnya kegiatan komersial dan tindakan yang realistik dari adanya insentif. Yang dipermasalahkan Aquinas dalam “Summa Teologica” adalah tentang “just price”, dengan pertanyaan, “Whether a man may lawfully sell a thing for more than it is worth?”. Profit, dalam hal ini yang moderat, diperbolehkan jika pedagang mempunyai maksud terhormat, seperti self support, charity, dan public service. Karena Aquinas tidak memberikan spesifikasi nilai suatu barang yang katanya tidak bias ditetapkan secara matematis, maka yang dimaksud dengan “just price” adalah harga berlaku yang terjadi di suatu tempat pada saat tertentu, yang ditentukan oleh perkiraan yang wajar (fair-minded estimate). Selanjutnya Aquinas melarang apa yang disebut improper gains yang dianggap sebagai rente.
Tokoh selanjutnya Max Webber dalam “The protestant Ethics and the Spirit of Capitalism”, mendukung gagasan, semangat, dan mentalitas kapitalisme yang bersumber dari ajaran agama. Manusia ditunjukkan sebagai homo economicus, yaitu konsep yang dari dulu hingga sekarang dalam hal penugasan kehidupan ekonomi adalah sesuai. Bahwa tujuan hidup adalah mendapatkan kemakmuran dan kekayaan yang digunakan untuk tugas melayani Tuhan. Webber menekankan sikap memperhatikan kehidupan dengan berlaku hati-hati, bijaksana, rajin, dan bersungguh-sungguh dalam mengelola bisnis. Segi utama dari kapitalisme modern adalah memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara ketat terhadap pemakaian untuk bermewah-mewah. Prinsip ini mengungkapakan suatu tipe perasaan yang erat hubungannya dengan pemikiran keagamaan. Selanjutnya Weber menunjukkan suatu masyarakat yang sudah diwarnai oleh sifat mental kapitalis akan nampak pada kehidupan yang diarahkan pada alat produksi pribadi, perusahaan, perusahaan bebas, penghematan uang, dan mekanisme persaingan dan rasionalisasi pengelolaan bisnis.
Jauh sebelum kemunculan Thomas Aquinas dan Max Weber, seorang filsuf Islam Ibn Khaldun telah menguraikan dengan detail mengenai aspek-aspek kapitalisme yang religius. Karyanya yang monumental, “Muqaddimah”, atau “The prologema” atau “The Introduction” dikerjakan selama empat tahun (1375-1379) menggambarkan dengan jelas mengenai pemikiran-pemikirannya. Lingkup pemikirannya meliputi teori nilai, hukum supply dan demand, produksi, distribusi dan konsumsi kekayaan, uang dan modal, division of labor, capital formation dan pertumbuhan ekonomi, perdagangan internasional, public finance, dan tanggung jawab ekonomi pemerintah. Rekomendasi kebijakannya didasari oleh analisisnya atas apa yang terjadi dengan mendasarkan pada “the dictates of reason as well as ethics”, menunjukkan pertimbangan positif sekaligus normatif. Ibn Khaldun mengakui pentingnya institusi pengaturan dalam hal pembuatan kebijakan, pembuatan keuangan publik dan penjaminan dipenuhinya kebutuhan masyaraka. Berarti tidak untuk intervensi pasar dalam hal penentuan harga yang ditentukan supply dan demand. Karena, “God is the controller of the price”. Dalam hal dorongan atau insentif tindakan, seperti telah disebutkan diatas, tidak diragukan lagi bahwa Ibn Khaldun menekankan baik alasan rasional maupun moral.
Karakteristik Sistem kapitalisme
Bila dikaitkan dengan sistem ekonomi, penggunaan sistem kapitalisme setidaknya akan memunculkan lima karakteristik pokok. Lima karakteristik pokok tersebut menurut Pratama Rahardja (2001), diantaranya :
 Hak Kepemilikan
Sebagian besar hak kepemilikan dalam sistem ekonomi kapitalis adalah hak kepemilikan individu/ swasta.
 Profit/ Keuntungan
Dalam masyarakat kapitalsi profit menjadian tujuan utama untuk mencapai kemakmuran atau secara kasarnya adalah untuk memuaskan nafsu si pemiliki modal.
 Konsumerisme
Istilah ini identik dengan hedonisme, yaitu falsafah hidup yang mengajarkan untuk mencapai kepuasan sebesar-besarnya selama hidup di dunia ini.
 Kompetisi
Semangat ini telah muncul sejak jaman pemikiran Adam Smith dan J.B Say. Melalui konsep ini individu/ kelompok/ organisasi dituntut untuk selalu efisiensi agar dapat berkompetisi dengan yang lainnya.
 Harga; Konsep harga ini diidentikkan dengan kelangkaan.
Bila kita bandingkan dengan ideologi lainnya seperti sosialis/ komunis dan lainnya terdapat beberapa perbedaan yang mendasar. Sebagai contoh budaya kapitalisme sekuler mengakui eksistensi Pencipta dan hari akhir, tetapi menafikkan perannya di dunia nyata sehingga manusia tidak wajib terikat dengan hukum-hukum Pencipta, kecuali dengan hukum-hukum buatan manusia, sedangkan budaya berideologikan sosialis komunis ala Karl Marx memandang kehidupan ini hanya materi belaka yang bersifat kekal, kehidupan ini hanyalah materi yang berevolusi (dialektika materialistik). Dalam konteks peran negara, Muh. Romzy (2001) dalam buku Sosialis Religius berpendapat bahwa budaya kapitalisme memandang negara sebagai wahana untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh parlemen atau lembaga legislatif, berbeda dengan sosialisme komunis, bagi ideologi ini negara adalah proses dari evolusi materialisme, negara adalah wahana temporer untuk menuju masyarakat tanpa negara dan tanpa kelas. Selanjutnya untuk sistem ekonomi kapitalisme dengan konsekuensinya yang memandang individu sebagai makhluk yang bebas, maka kepemilikan barang oleh individu menjadi hal yang wajar apakah itu barang tambang, hasil hutan dan kekayaan alam lainnya. Sehingga memunculkan fenomena monopoli dan kesenjangan ekonomi yang besar. Dalam budaya sosialis komunis konsep kepemilikan dihapuskan, sebab hanya negara saja yang berhak memiliki dan mengelola semua barang-barang komoditi atau uang yang ada.
Menurut Zainal Abidin (2001), dalam masyarakat kapitalis kelas pemilik modal menentukan jenis dan jumlah produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan demikian kelas pemilik modal pula yang menentukan eksistensi kaum buruh (proletar), karena dengan dikuasainya alat-alat produksi, maka kaum buruh secara ekonomis, politis dan bahkan kultural menjadi sangat tergantung pada kaum pemilik modal (borjuis). Berbeda dengan kapitalisme, marxisme/ komunisme menghendaki kepemilikan bersama atas alat-alat produksi, hal ini dapat mencegah terjadinya penindasan, ketidakadilan, alienansi dan dehumanisasi, khususnya pada kelas buruh.
Sangat tampak sekali bahwa karakteristik yang muncul dalam sistem kapitalisme dan sistem lainnya seperti sosialis komunis lebih condong pada materialisme, sehingga tujuan awal dari falsafah kapitalisme mengalami pergeseran. Pergeseran konsep kapitalisme terjadi ketika masa renaissance muncul di Eropa, beberapa ahli ekonomi mulai memisahkan ilmu pengetahuan dengan agama, sehingga muncul doktrin yang sangat terkenal hingga sekarang bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang harus bebas nilai. Dalam perkembangannya ilmu ekonomi harus bebas dengan nilai-nilai yang ada (agama, budaya, lingkungan dll), ilmu ekonomi menjadi satu kajian yang diukur dengan nilai rasionalitas, objektivitas dan ilmiah, di sisi lain budaya kapitalisme mengalami kemajuan yang pesat ditandai dengan peristiwa revolusi industri hingga kemajuan teknologi yang dijadikan alat pendukung untuk memperkuat kapitalisme itu sendiri, dan yang lebih penting lagi adalah makna etis menjadi hal yang bias dalam praktek ekonomi kapitalis.
Dampak Sistem Kapitalisme
Arief Budiman (1991) mengemukakan bahwa salah satu dampak budaya kapitalisme global adalah diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Produksi akan macet kalau manusia merasa sudah cukup dan tidak mau berkonsumsi lagi. Akibatnya, melalui iklan dan berbagai bentuk promosi lainnya manusia dibentuk menjadi berperilaku konsumeristis. Sikap serakah, materialistis, dan konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja sekeras-kerasnya, demi memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan. Kekayaan menjadi simbol status dalam sistem kapitalis. Ukuran tidak lagi pada kualitas manusianya, melainkan pada jumlah atau kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran tak lagi menjadi ukuran keluhuran perilaku. Sisi lain dari pengembangan sistem kapitalis adalah ditimbulkannya semangat individualistis, baik dalam berkonsumsi maupun berproduksi. Kolektivitas dan solidaritas dianggap tidak rasional. Kemampuan berkompetisi untuk meraih yang terbanyak, tertinggi, lalu berkonsumsi dalam jumlah banyak untuk meraih simbol status adalah tuntutan untuk bisa masuk dan bertahan dalam kehidupan sistem kapitalis. Akhirnya kapitalisme bukan lagi sekadar sistem perekonomian belaka, tetapi sudah mencampuri nilai-nilai kehidupan dan menentukan arah tujuan hidup. Dampak kapitalisme lainnya secara lebih luas menurut Prathama Rahardja (2001) diantaranya bahwa kapitalisme dapat memunculkan :
1. Persaingan bebas (free competition). Hal ini menyebabkan memburuknya distribusi pendapatan di masyarakat, sehingga orang kaya akan semakin kaya dan sebaliknya orang miskin akan makin miskin
2. Dalam kenyataanya ada saling mengorbankan antara ujuan efisiensi dengan keadilan. Masyarakat kapitalis sangat mengagungkan efisiensi, sehingga tidak ada larangan bagi pengusaha untuk meningkatkan efisiensinya, termasuk terus-menerus mengurangi tenaga kerja dan menggantinya dengan peningkatan teknologi.
3. Prinsip mekanisme pasar dengan ”invisible hand”nya dapat menciptakan imperialisme baru dalam bentuk perluasan kekuasaan ekonomi (merger, akuisisi dll).
Lebih tajam lagi Benjamin R Barber (2003) dalam bukunya Jihad Vs Mc World menyoroti sepak terjang kapitalisme dengan nada sinis sebagai ”ideologi yang paling menarik dan diminati suatu bangsa”, selanjutnya Benjamin menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar menjadi ”pelaku utama” dalam masalah-masalah global dan perannya lebih besar daripada sebuah negara. Perusahaan ini bukan hanya disebut sebagai perusahaan multinasional tapi telah menjadi tansnasional atau pascanasional bahkan menuju antinasional, karena melalui konsep globalisasi mereka menarik kembali gagasan tentang bangsa dan parokialisme lain yang membatasi mereka dalam ruang dan waktu
Lebih tajam lagi Zainal Abidin (2002) menyoroti dampak kapitalime dan filsafat positivisme secara umum bahwa jika tolak ukur pembangunan adalah kemajuan di bidang fisik material maka sasaran atau orientasi hidup manusia ditujukan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kekayaan material, konsekuensi etis dari hal ini adalah masalah etika dan moral menjadi marginal, tujuan hidup manusia bukan lagi kebahagiaan dan kenikmatan kerja melainkan pada perolehan sebanyak-banyaknya hasil dalam waktu yang singkat, selanjutnya harga diri dan martabat seseorang atau suatu bangsa ditentukan oleh seberapa besar akses dan kontribusi ekonomi dan industri yang dimiliki oleh orang atau bangsa itu. Semakin besar akses dan kontribusi ekonomis dan politis seseorang atau suatu bangsa, semakin besar pula harga diri dan martabat orang atau bangsa itu. Kualitas dan kemanusian hanya merupakan nilai yang bersifat periafeal. Padahal jika merujuk pada pendapat dari Mahatma Gandhi ”dunia bisa memenuhi kebutuhan hidup umat manusia, tetapi tidak bisa memenuhi keserakahan manusia” Sangat jelas sekali bahawa budaya kapitalise membawa manusia pada hidup yang bersifat serakah untuk pemuasan nafsu yang tak terbataskan.
AKUNTANSI DALAM PRAKTEKNYA
Akuntansi dalam Perangkap Kapitalisme
Seperti yang diungkap oleh Tricker (1978) akuntansi adalah anak dari budaya masyarakat dimana akuntansi dipraktekkan. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai masyarakat memiliki peranan yang penting dalam mempengaruhi bentuk akuntansi. Akuntansi modern yang berkembang saat ini banyak menyerap dan dikembangkan oleh masyarakat yang kental dengan nilai leberalisme dan kapitalisme yang tinggi. Dalam masyarakat yang kapitalis hak milik mutlak berada pada seorang individu, dengan konsep ini sebuah badan usaha didirikan, dimiliki oleh, dan digunakan untuk pemilik yang memiliki modal (kapitalis). Kedudukan yang tinggi bagi seorang kapitalis ini akhirnya membentuk akuntansi yang memihak pada kepentinggan kapitalis. Bahkan para praktisi akuntansi ikut terpengaruh dengan memanipulasi angka-angka laba hanya untuk memuaskan kepentingan kapitalsi (ENRON, LIPPO). Menurut Triyuwono (2006) secara implisit kedudukan kapitalis yang sentral ini telah mengakibatkan : (1) bentuk akuntansi menjadi egois, (2) bias materi), (3) tidak memperhatikan eksternalitas, (4) bias maskulin dan (5) berorientasi pada informasi berbasis angka.
1. Nilai egoisme dalam Akuntansi
Egoisme dalam akuntansi identik dengan konsep akuntansi ekuitas yaitu entity theory. Menurut pandangan teori ini, perusahaan akan eksis bila ia mampu menciptakan income. Dan income ini semata-mata diperuntukkan pada pemegang saham.
2. Nilai Materialisme Akuntansi Modern
Nilai materialitas yang terkandung dalam akuntansi identik dengan konsep utilitas yang dianutnya. Dalam prakteknya jika suatu perbuatan menghasilkan utilitas, maka perbuatan tadi dikatakan etis, dan utilitas yang diamksudkan disini adalah utilitas dalam pengertian materi dengan konsep dasarnya untuk meraih pleasure dan happiness.
3. Orientasi Internalitas Akuntansi Modern
Praktek akuntansi modern cenderung tidak bertanggung jawab terhadap unsur eksternal yang terjadai akibat aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan, dan sebaiknya yang menanggung adalah masyarakat secara keseluruhan.
4. Orientasi Angka-angka Akuntansi modern
Seperti yang diutarakan oleh Hines (1989) bahwa tanpa angka-angka akuntansi keadaan perusahaan tidak dapat tergambarkan. Orientasi pda angka-angka akuntansi ini menjadikan realitas bisnis oleh akuntansi modern berpusat pada angka yang akan dibentuk, dampaknya informasi yang dimunculkan menjadi sangat parsial karena tereduksi oleh bentuk angka-angka yang diinginkan.

Budaya Kapitalisme dalam Kepemilikan Perusahaan
Dalam ilmu akuntansi, teori kepemilikan yang sering digunakan adalah Entity Theory. Ide utama teori ini adalah memahami perusahaan sebagai entitas yang terpisah dari pemiliknya. Terdapat dua pandangan yang berbeda dalam konteks Entity Theory. Versi pertama adalah versi tradisional yang memandang bahwa perusahaan beroperasi untuk keuntungan pemegang saham, yaitu orang-orang yang menanamkan dananya dalam perusahaan. Dengan demikian akuntansi akan diperlakukan sebagai laporan kepada pemegang saham tentang status dan konsekuensi dari investasi mereka. Versi kedua adalah anggapan bahwa sebuah entitas adalah bisnis untuk dirinya sendiri yang berkepentingan. Hal ini menyebabkan laporan akuntansi diberikan kepada pemegang saham hanya dalam rangka memenuhi persyaratan legal dan untuk mengelola hubungan baik dengan mereka dalam konteks bahwa sejumlah dana tambahan mungkin dibutuhkan dimasa depan. Dalam prakteknya teori ini mengakibatkan manajemen mengemban tugas untuk memperoleh dan mengakumulasi kekayaan yang tanpa batas, entitas bisnis memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan pendapatan dan kekayaannya sendiri, dengan orientasi untuk kesejahteraan pemilik perusahaan. Entitas bisnis akan berperan sebagai agen pemilik perusahaan dengan orientasi kerja perolehan kekayaan secara tak terbatas baik untuk kesejahteraan pemilik juga untuk survivalitas dan perkembangannya sendiri. Bahkan yang lebih mengerikan lagi adalah entitas bisnis ini akan dijadikan sebgai mesin perang mengeruk kekayaan dan pertimbangan etis dikesampingkan. Karena ia hanya alat makan perilakunya ini tidak dapat disalahkan. Selain itu dalam prakteknya Entity Theory ini memiliki kemampuan untuk merasionalisasikan, menormalisasi dan melegitimasi berbagai macam instrumen yang digunakan untuk mengendalikan buruh yang seolah-olah kaum buruh memperoleh banyak manfaat dari sistem yang sebenarnya sangat eksploitaif (Triyuwono; 2006).
Budaya Kapitalisme dalam Laporan Keuangan Perusahaan
Pengaruh budaya kapitalsiem juga terlihat pada formula dari tujuan laporan keuangan yang didefinisikan oleh accounting body di Amerika Serikat, seperti terlihat di bawah ini : The basic objective of financial statement is to provide information useful for making economic decision (Mathews and Parera ; 1993). Tujuan dasar dari laporan keuangan seperti yang diungkapkan di atas secara implisit merefleksikan kepentingan investor (stockholder) atas manfaat ekonomis dari apa yang telah diinvestasikan. Untuk itu, pihak investor akan membutuhkan informasi akuntansi untuk pengambilan keputusan. Jadi laporan keuangan merupakan instrumen yang digunakan untuk memberikan informasi tentang kinerja dari manajemen. Sehingga kita akan melihat bahwa formula laporan keuangan ini sesungguhnya tidaklah benar-benar netral, formula ini cenderung memiliki bias nilai, yaitu mementingkan kepentingan pemilik modal. Kepentingan dari pemilik modal itu sendiri adalah mempertahankan modal yang ditanam (capital maintenance) sekaligus mendapatkan laba yang maksimal. Berdasarkan hal ini maka yang paling krusial terjadi adalah akuntansi akan menjadi kendaraan yang dikuasai oleh pemilik modal (kapitalis) di mana kekuasaan tunggal berada di tangannya. Dan eksploitasi ini dilakukan terhadap pihak-pihak lain serta alam.
Simbiosis Mutualisme Kapitalisme dan Teori Akuntansi
Tanpa disadari ternyata perilaku yang terjadi dalam realitas sosial dan praktek bisnis yang serba kapitalis maka tepri yang membentuk ilmu akuntansi itu sendiri dirasuki atau terkontaminasi karakteristik kapitalisme yang kuat. Dengan kata lain telah terjadi hubungan yang saling menguntungkan (sismbiosis mutualisme) antara para kapitalis dengan ilmu akuntansi. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Bailey (1988) memberikan gambaran jelas tentang bentuk dan peraturan akuntansi akuntansi dinegara-nagara sosialis. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa akuntansi yang dipraktekkan di negara-negara tersebut sarat dengan nilai-nilai sosialis. Sedangkan karya Watts dan Zimmerman (1986) dalam bukunya yang terkenal dan dijadikan rujukan bagi teori akuntansi modern Positive Accounting Theory, memberikan gambaran yang jelas tentang sistem ekonomi kapitalsi yang mempunyai pengaruh kuat dalam membentuk praktik-praktik akuntansi khususnya dinegara-negara yang menggunakan sistem ini. Dari kedua penelitian di ata dapat dilihat bahwa faktor sistem politik (ideologi) dan ekonomi adalah faktor-faktor penentu yang memiliki andil besar dalam membentuk akuntansi. Karena saat ini yang menjadi magnet adalah ideologi kapitalisme, maka menjadi hal yang wajar bahwa teori akuntansi modern yang dikembangkan oleh Watts dan Zimmerman yaitu Positive Accounting Theory (PAT) kental dengan ideologi kapitalisme dan menjadi magnet rujukan perkembangan ilmu akuntansi.
Dalam prakteknya kita dapat melihat bahawa akuntansi positif merupakan anak dari sistem ekonomi kapitalis. Ciri maksimalisasi laba dan akumulasi kapital merupakan identitas utama yang tidak dapat dipisahkan dari akuntansi positif. Perkembangan ilmu positif produk dari modernisme ini banyak menekankan pada aspek praksis dan fungsi, melecehkan aspek nilai (etika) dengan beranjak pada asumsi ilmu pengetahuan positif harus netral dan bebas dari nilai (value free). Kekuatan modernisme yang semakin besar menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan positif semakin kuat, dengan kekuatan hegemoni ini maka ilmu-ilmu yang tidak sesuai dengan metode (prosedur) ilmiah yang telah diformat oleh ilmu positif diklaim sebagai ilmu yang tidak ilmiah, tidak sahih dan tidak layak untuk hidup, dikembangkan apalagi dipraktekkan.
Angin segar yang dihembuskan oleh modernisme membawa Postive Accounting Theory berkembang menjadi paradigma baku dalam ilmu akuntansi, hal ini sekaligus memberikan keuntungan kepada kapitalisme untuk tetap menancapkan kekuasaanya dalam sendi-sendi kehidupan manusia diantaranya dalam praktek bisnis. Sehingga dalam praktek akuntansi, kita akan melihat bahwa akuntansi positif yang berkembang saat ini merupakan anak dari sistem kapitalistik. Ciri maksimalisasi laba dan akumulasi kapital merupakan identitas utama yang tidak dapat dipisahkan dari akuntansi. Maksimalisasi laba misalnya, akan terlihat di akhir laporan Rugi Laba akan terlihat akun Laba Bersih. Akun ini merupakan tujuan utama manajemen perusahaan yang juga menjadi kepentingan bagi pemilik perusahaan (shareholders), investor dan kreditor. Semakin tinggi angka akuntansi yang diciptakan dalam akun Laba Bersih ini, maka semakin baik kinerja dari peruasahaan yang bersangkutan. Sedangkan ciri budaya kapitalis lainnya dalam akumulasi kapital akan tampak pada Laporan Neraca dengan akun Laba yang Ditahan yang merupakan bagian dari Ekuitas. Atau dilaporkan juga secara khusus dalam Laporan Laba yang Ditahan. Semakin besar komposisi ekuitas ini terhadap nilai hutang, maka semakin aman investasi yang ditanamkan oleh investor.
Analisis-analisis keuangan dalam akuntansipun dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau yang terkait dengan perusahaan. Kita bisa melihat bahwa alat-alat analisis ini sebetulnya tidak terlepas dari hegemoni kapitalisme, dengan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi pada angka-angka akuntansi, akhirnya nilai yang dibuat dalam angka akuntansi tersebut menjadi angka-angka yang “sakral” yang dianggap dapat membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi pihak-pihak yang berkepentingan melalui pengambilan keputusan ekonomi. Dan sebagai penyedia informasi akuntansi juga dapat digunakan sebagai misalnya, alat untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi, alat untuk menurunkan agency cost, meningkatkan produktivitas karyawan dan sebagainya.
PERLUNYA ETIKA
Kapitalisme masih terus bertahan. Secara berani Francis Fukuyama menyatakan bahwa kapitalisme adalah the end of history, hal ini dikarenakan setiap negara mengadopsi dan berusaha sistem ekonomi yang market oriented dan terintegrasi menuju kapitalisme global, alasannya jelas, meningkatnya kompleksitas dan intensitas informasi kehidupan modern pada saat yang bersamaan membuat centralized planning-economy menjadi sangat-sangat sulit, kalau tidak mau dikatakan tidak memungkinkan. tersebut. Sistem kapitalisme pasca perang dunia kedua juga telah menjadi natural stopping point, yang mendorong banyak negara agraris dan industri untuk mengejar ketertinggalannya dari Amerika. Alasan selanjutnya dalah kegagalan yang dialami komunisme. Sepertiga masyarakat dunia yang menggunakan ekonomi komunis telah memutuskan untuk bergabung dengan sistem kapitalisme. Kapitalismepun untuk mempertahankan eksistensinya melakukan perubahan-perubahan, Kata LesterThurow, “It’s still going to be capitalism, but it’s going to be a very different capitalism. In oher words, we know the forces that are going to determine the future of capitalism. But we don’t know is the exact shape of the future, because that’s not determined by stars; it’s determined by what we do”. (Rethinking the future, hal 237).
Pernyataan Thurow ini merujuk pada lima kekuatan. Pertama, berakhirnya komunisme. Kedua, pergeseran dari industri yang natural resource-based ke industri yang manmade brainpower atau yang knowledge-based. Ketiga, faktor demografis; tumbuhnya populasi dunia yang sekaligus makin tua. Keempat, sampainya masa genuinely global economy. Terakhir, hilangnya dunia yang unipolar, tidak ada lagi kekuatan ekonomi dan politik yang dominan. Gesekan-gesekan kekuatan ini menimbulkan perubahan lingkungan industri, edologis, teknologis, sosiologis, psikologis, ekologis, dan seterusnya. Dalam hal ini, teknologi dan ideologi ditunjuk sebagai kekuatan utama yang besar. Disebutkan lebih lanjut oleh Lester Thurow dalam “The Future of Capitalism”, mengatakan bahwa kapitalisme masih akan berlanjut meskipun mengalami beberapa perubahan. Ia memajukan eksperimen sosial dengan menciptakan prinsip, norma, dan aturan-aturan sosial baru yang sesuai dengan perkembangan ekonomi. Sehingga, semakin berkembang ekonomi dan teknologi, semakin berkembang pula komponen normatif masyarakatnya.
Salah satu langkah dalam mengeliminir dampak negatif dari kapitalisme adalah dengan mengembalikan kapitalisme ini kewujudnya yang semula, yaitu sebagai sarana untuk mengabdi kepada Tuhan (Ibn Khaldun, Thomas Aquinas), sehingga perilaku kapitalisme akan dikontrol oleh standar etis yang membatasi aktivitas gerak individu. Keterlibatan etika dalam bentuk norma, nilai dan moral haruslah diharmoniskan dalam diri manusia ketika berinteraksi dengan sesama dan sekitarnya. Francis (1990) mengklaim bahwa akuntansi adalah sebuah praktek moral. Hal ini dikarenakan akuntan dapat mengubah dunia dan mempengaruhi pengalaman hidup orang lain dengan cara yang menyebabkan pengalaman hidup seseorang menjadi berbeda dengan tidak adanya akuntansi atau adanya bentuk alternatif akuntansi dalam hal ini adalah informasi akuntansi itu sendiri. Selanjutnya Jere Francis (1990) mengemukakan nilai etika yang dapat direalisasikan melalui praktik akuntansi yaitu : kejujuran (honesty), perhatian terhadap status ekonomi orang lain (concern for the economic status of others), sensitivitas terhadap nilai kerja sama dan konflik (sensitivity to the value of co-operation and conflict), karakter komunikatif akuntansi (communicative character of accounting) dan penyebaran informasi ekonomi (dissemination of economic information).
Beberapa pendapat di atas menandakan fenomena yang menunjukkan semakin meningkatnya perhatian akan pentingnya penerapan etika dalam akuntansi khususnya dan dunia bisnis pada umumnya, hal ini dikarenakan begitu gencarnya praktek kapitalisme melanda dunia bisnis. Kecenderungan yang besar untuk selalu mengakumulasi laba mempengaruhi perilaku para pelaku bisnis sehingga muncullah praktek-praktek seperti monopoli, eksploitasi karyawan atau buruh, kesewenangan dalam mengeksploitasi alam dll. Seperti yang dikemukakan oleh Sonny Keraf (1991) dibawah ini :
Namun yang masih sangat memprihatinkan adalah bahwa bisnis hampir tidak pernah atau belum dianggap sebagai suatu profesi yang luhur. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang menganggap bahwa bisnis adalah suatu pekerjaan yang kotor dan dicemoohkan. Itulah sebabnya bisnis selalu mendapat konotasi yang jelek…Kesan dan sikap masyarakat seperti itu sebenarnya disebabkan oleh ulah orang-orang bisnis itu sendiri, atau lebih tepat ulah beberapa ’orang bisnis’ yang memperlihatkan citra yang begitu negatif
Agama merupakan sumber yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam etika bisnis, karena agama memudahkan manusia untuk mengetahui atau membedakan yang baik dan yang buruk atau yang benar dan yang salah dalam berbisnis. Mengapa agama dijadikan sumber nilai ? karena hanya Tuhanlah yang memiliki otoritas tertinggi dalam menetapkan nilai-nilai yang baik dan yang benar. Menurut Chryssides dan Kaler (1993) :
jika Tuhan itu ada, lalu siapa yang lebih baik dari Tuhan itu sendiri memutuskan apa yang benar dan apa yang salah ? Jika Tuhan itu Maha Mengetahui, maka pasti Dialah pemegang otoritas yang terpercaya atas para ahli etika ….
Oleh karena itu masyarakat yang percaya akan adanya Tuhan akan membangun nilai-nilai etikanya berdasarkan pada ajaran agama masing-masing, sehingga dalam praktek bisnis mereka akan selalu diselimuti dengan nilai etika yang kuat, setidaknya dalam berperilaku, seorang kapitalis akan menampilkan sosok kapitalis yang religius. Pelaksanaan etika yang berdasar pada agama akan memberikan suatu konsep yang menyatakan bahwa pelaku tindakan (individu/ kelompok) yang baik dan benar menurut etika agama akan mendapatkan pahala atas yang telah diperbuatnya, dan jika melanggar mereka akan berdosa atas perbuatannya. Esensi yang lebih tinggi yang dapat diambil dalam menyandarkan etika pada agama adalah adanya kesadaran dalam diri individu/kelompok dalam melakukan tindakan (kegiatan bisnis) seolah-olah telah melihat Allah, atau sebaliknya bahwa individu/ kelompok sadar bahwa Allah selalu melihat apa yang mereka perbuat. Kesadaran seperti ini membuat para pelaku bisnis meyakini bahwa dalam hidup ini tidak ada jalan menghindar dari Tuhan dan pengawasan-Nya terhadap tingkah laku mereka.
Akhirnya… Masa depan tidak dapat diketahui pasti, walaupun paling tidak kita dapat melihat tanda-tandanya. Seperti kata Aristoteles, kita dapat mengubah masa depan karena kita tidak mengetahuinya: kalau masa depan sudah diketahui, maka kita tidak dapat mengubahnya. Masa depan tergantung dari apa yang kita lakukan saat ini, dan semuanya dapat berharap bahwa kita dapat menjumpai hari esok yang lebih baik.
Sebagaimana ilmu ekonomi mengajarkan, manusia senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan. Demikian juga dengan sistem ekonomi yang dipakai dalam praktek bisnis sekarang merupakan bagian dalam pembentukan hari depan yang lebih baik. Kita berurusan dengan persoalan besar, yang sangat menentukan kinerja perekonomian yang lebih baik. Sebagaimana disebut didepan, pilihannya ada dua, menjalankan yang sudah ada atau menawarkan alternatif baru. Alternatif baru ini, biasa sama sekali baru, atau membuat yang sudah ada dengan beberapa penyesuaian-penyesuaian yang – kalau memang perlu – sifatnya fundamental.
Yang dipaparkan disini adalah sebuah realitas sosial yang terbangun dengan pondasi yang kuat berupa kapitalisme yang telah membelenggu praktek akuntansi dan perkembangan ilmu akuntansi itu sendiri. Konsep kapitalisme yang awalnya menitik beratkan kepada perwujudan ibadah kepada Tuhan telah dikesampingkan menjadi pemuasan individu yang berlebihan, sehingga perilaku-perilaku negatif dalam bisnis menjadi hal yang diwajarkan. Perkembangan teori dan praktek akuntansi disini dipaparkan dengan maksud memberikan gambaran bahwa telah terjadi praktek simbiosis mutualisme antara akuntansi dengan budaya kapitalisme itu sendiri, bila hal ini dibiarkan maka pendapat Francis Fukuyama bahwa kapitalisme sebagai the end of history menjadi kenyataan. Mitos bahwa ilmu pengetahuan (akuntansi) adalah ilmu yang bebas nilai mesti kita rubah, justru akuntansi dan praktek di dalamnya sangatlah sarat dengan nilai. Jika hari ini nilai yang menyelimuti akuntansi adalah nilai-nilai kapitalisme, maka perubahan mesti dilakukan.
Perlunya nilai-nilai etika melandasi praktek akuntansi dan bisnis pada umumnya menjadi satu keharusan, dan tugas ini berada dalam tampuk kita sebagai pelaku dan pengembang dari akuntansi itu sendiri. Jangan sampai kita berada dalam posisi yang netral, atau meminjam istilah Baudrillard berada dalam posisi le strategy de fatale yang penuh dengan paradoks, tidak menerima, tidak menolak, tidak mengkritik, tidak menyanjung situasi yang ada dan bersikap peduli amat !
Kalau masih ada semangat, seperti kata Muhammad Iqbal, “mendatangkan kehidupan dari dunia sendiri, menyalakan api yang tersembunyi dalam dunia sendiri” kalau dunia yang sekarang tidak sesuai dengan keinginan kita. Entah mana yang first best choice, mana pula yang second best choice……..

Tidak ada komentar: